Kenaikan PPN 12 persen memicu penolakan masyarakat, menyoroti ketidakadilan pajak bagi kelompok berpendapatan rendah.Â
Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 31 Desember 2024, reaksi masyarakat langsung meledak.Â
Mulai dari mahasiswa yang turun ke jalan, hingga diskusi panas di media sosial, semua menunjukkan satu hal: kebijakan ini menimbulkan keresahan yang serius.Â
Rencananya, kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Tapi apakah kebijakan ini benar-benar adil?Â
Ketidakadilan Pajak: Beban bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah
Bagi masyarakat berpendapatan rendah, kenaikan PPN adalah mimpi buruk yang nyata. Pajak ini, menurut para ahli, bersifat regresif. Artinya, dampaknya lebih besar dirasakan oleh kelompok masyarakat miskin dibandingkan yang kaya.Â
Dilansir dari BBC Indonesia, Muhammad Andri Perdana dari Bright Institute, menjelaskan bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah sering kali tidak punya pilihan selain membeli barang-barang berlabel premium.Â
Dengan kenaikan PPN, harga barang-barang ini akan semakin tidak terjangkau, memaksa mereka untuk mengorbankan kebutuhan lain.
PPN, pada dasarnya, adalah pajak konsumsi. Jadi, semakin banyak kita belanja, semakin besar pajak yang harus kita bayar. Masalahnya, orang miskin cenderung menghabiskan hampir seluruh pendapatannya untuk konsumsi kebutuhan dasar.Â
Sebaliknya, orang kaya hanya menghabiskan sebagian kecil dari pendapatannya untuk konsumsi. Akibatnya, proporsi beban pajak terhadap pendapatan jauh lebih besar bagi masyarakat miskin.