KPK menetapkan Hasto tersangka, memperlihatkan simpang siur penegakan hukum di antara pusaran kepentingan politik.Â
Di penghujung tahun 2024, panggung politik Indonesia kembali bergejolak. Penetapan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, sebagai tersangka oleh KPK membawa kita pada diskusi tentang independensi lembaga penegak hukum di negeri ini.Â
Kasus ini adalah cerminan dinamika politik Indonesia yang kompleks, ketika batas antara penegakan hukum dan kepentingan politik semakin kabur.
Kronologi yang Menimbulkan Tanda Tanya
Berdasarkan laporan CNN Indonesia, penetapan tersangka Hasto pada 23 Desember 2024 berkaitan erat dengan kasus Harun Masiku, politisi PDIP yang hingga kini masih buron.Â
Harun Masiku sendiri menjadi tersangka dalam kasus suap senilai Rp 140 juta kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terkait pengurusan PAW anggota DPR.Â
Dalam kasus ini, menurut CNBC Indonesia, Hasto diduga berperan mengatur pertemuan antara Harun Masiku dengan Wahyu Setiawan.
Menariknya, Detik.com melaporkan bahwa penetapan tersangka ini muncul hanya beberapa hari setelah Hasto melontarkan kritik tajam terhadap pelaksanaan pasca Pemilu 2024, termasuk soal netralitas penyelenggara pemilu dan dugaan intervensi dalam proses demokrasi.Â
PDIP, seperti dikutip Suara.com, mempertanyakan momentum penetapan tersangka yang dinilai mencurigakan, mengingat peristiwa suap tersebut telah terjadi jauh sebelumnya.
Politisasi Hukum: Pola yang Berulang
Kasus Hasto menambah daftar panjang fenomena politisasi hukum di Indonesia.Â
Menurut CNBC Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya ada lima kasus serupa ketika tokoh-tokoh yang vokal mengkritik pemerintah secara mendadak berhadapan dengan kasus hukum.Â