Ketika mendengar kata wibu, mungkin sebagian dari kita langsung membayangkan stereotip yang sudah lama melekat. Nolep, anti-sosial, atau bahkan pervert adalah label yang kerap disematkan pada mereka yang menyukai anime dan budaya Jepang. Namun, apakah stigma ini benar-benar berdasar? Atau ini sekadar bentuk lain dari ketidakpahaman masyarakat terhadap sesuatu yang berbeda?Â
Sebagai seorang millennial yang tumbuh dengan kegemaran membaca komik dan menonton kartun Minggu pagi di TV, saya sebenarnya tidak merasa asing dengan antusiasme para wibu terhadap anime.Â
Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin saya melihat fenomena ini, saya sadar bahwa stigma negatif terhadap wibu tidak hanya keliru, tetapi juga sangat merugikan.Â
Wibu, seperti komunitas lainnya, adalah wujud keberagaman budaya yang seharusnya kita pahami dan hargai, bukan kita hakimi.
Stigma yang Berakar pada Kesalahpahaman
Dalam salah satu jurnal dari Universitas Indonesia, wibu sering digambarkan negatif di media sosial, terutama dengan label seperti bau bawang atau nolep.Â
Label ini sering muncul tanpa dasar yang jelas, hanya karena seseorang memiliki ketertarikan yang berbeda, yaitu anime dan segala perintilannya.Â
Padahal jika kita lihat lebih dekat, anime bukan sekadar hiburan.Â
Banyak judul anime yang membawa narasi kompleks, mulai dari kritik sosial hingga nilai-nilai kehidupan.
Attack on Titan (AOT), misalnya, membahas tema berat seperti konspirasi, filosofi politik, dan propaganda kekuasaan. Naruto mengajarkan nilai kerja keras dan ketahanan mental.Â
Bahkan, Vinland Saga menggali pelajaran tentang memaafkan dan melanjutkan hidup meski menghadapi tragedi besar.Â
Melabeli penggemar karya seperti ini sebagai orang yang kekanak-kanakan jelas menunjukkan betapa minimnya pemahaman kita.Â