kriuk yang terdengar ketika kerupuk digigit, mengiringi nasi hangat dan sambal yang menjadi makanan andalan kita sehari-hari.Â
Di Indonesia, kerupuk bukan hanya makanan. Ia adalah bagian dari identitas kuliner kita. Ada sesuatu yang khas dari suaraTapi, pernahkah kita berpikir lebih jauh? Untuk menjadikan kerupuk lebih dari sekadar pelengkap makan, bahkan bisa menjadi simbol kebudayaan yang lebih besar?
Kerupuk dan Perjalanannya
Kerupuk telah melintas zaman, dari masa kolonial hingga era modern.Â
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, kerupuk menyumbang nilai ekspor hingga US$37,77 juta. Negara-negara seperti Korea Selatan, Belanda, dan China adalah pasar utama.Â
Korea Selatan bahkan menduduki peringkat pertama dengan nilai US$11,37 juta. Angka-angka ini membuktikan bahwa kerupuk telah diterima di pasar internasional.Â
Namun, di balik kesuksesan ini, kerupuk belum mampu mencapai status ikonik yang global, seperti kimchi dari Korea atau sushi dari Jepang.
Kenapa ini terjadi? Padahal, kerupuk memiliki kisah yang sangat kuat. Kerupuk lahir dari adaptasi masyarakat Indonesia terhadap tantangan pangan.Â
Pada era kolonial, singkong menjadi komoditas utama karena melimpahnya hasil panen.Â
Di tengah keterbatasan akses terhadap bahan makanan pokok seperti beras, masyarakat mengolah singkong menjadi berbagai jenis makanan, salah satunya adalah kerupuk.Â
Dari sini, kerupuk berkembang menjadi simbol daya tahan dan inovasi masyarakat kita.
Mengapa Kerupuk Belum Mendunia?
Saat berbicara tentang diplomasi kuliner, Korea Selatan dan Jepang adalah contoh sukses.Â