Bayangkan pagi hari di akhir pekan, jalan-jalan besar kota berubah menjadi lautan manusia yang berlari maraton. Kegembiraan, keringat, dan usaha terpancar dari wajah mereka.Â
Lari maraton bukan sekadar olahraga. Maraton adalah perjalanan mencari makna dan stabilitas.Â
Generasi muda kini meramaikan maraton, bukan hanya di New York, tapi juga di kota-kota besar dunia, termasuk Indonesia. Apa yang mereka cari?
Fenomena Maraton dan Generasi Muda
New York City Marathon 2024 mencetak rekor dengan 55.646 peserta, dan menariknya, 19% dari mereka adalah generasi muda berusia 20-an. Angka ini meningkat dari 15% pada 2019, menurut laporan GoodStats.Â
Fenomena ini juga tercermin di Los Angeles Marathon dan berbagai event maraton di seluruh dunia.Â
Mengapa para anak muda begitu tertarik? Maraton menawarkan sesuatu yang sulit ditemukan generasi muda di era ini, yakni struktur hidup, komunitas, dan tujuan yang jelas.
Generasi muda masa kini menghadapi ketidakpastian besar dalam hidup.Â
Biaya hidup meningkat, rumah makin sulit dibeli, dan pernikahan sering kali tertunda.Â
Dalam situasi ini, pelatihan maraton dengan rutinitas terstruktur menjadi semacam penyelamat. Jadwal latihan yang mencakup berlari beberapa kali seminggu, istirahat cukup, dan makan sehat memberikan mereka rasa kontrol atas kehidupan yang sering terasa kacau.
Namun saya bertanya-tanya, apakah ini solusi yang cukup untuk kebutuhan mereka akan stabilitas?Â
Ataukah ini hanya pelarian sementara dari tekanan hidup modern?
Kesehatan Mental dan Maraton
Menurut artikel dari Kompas Lifestyle, generasi muda, terutama Gen Z, memiliki prevalensi gangguan mental tertinggi dibanding kelompok usia lainnya. Depresi dan kecemasan menjadi masalah besar.Â
Dalam konteks ini, maraton menjadi lebih dari sekadar olahraga. Berlari terbukti meningkatkan hormon endorfin yang membuat seseorang merasa lebih bahagia.Â
Selain itu, aktivitas ini menghubungkan mereka dengan komunitas baru, membantu melawan epidemi kesepian yang sedang meningkat.
Seseorang akan berusaha berhenti dari kebiasaan buruk, seperti vaping, karena ingin meningkatkan performanya di maraton. Transformasi ini menunjukkan bagaimana maraton dapat menjadi alat perubahan gaya hidup yang lebih sehat.
Namun, kita juga harus realistis. Ketergantungan pada aktivitas eksternal seperti maraton bisa menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan dukungan lain.Â
Bagaimana jika suatu saat mereka berhenti lari? Apakah mereka akan kehilangan stabilitas yang selama ini dikejar?
Maraton dan Konteks Sosial di Indonesia
Di Indonesia, fenomena maraton punya daya tarik tersendiri.Â
Dalam budaya kita yang kaya akan kebersamaan, maraton mencerminkan nilai ini.Â
Saat ribuan pelari berjuang mencapai garis finis, mereka berbagi pengalaman yang sama.Â
Tidak ada hirarki di lintasan lari, semua memiliki tujuan yang sama.
Namun, maraton di Indonesia juga memiliki potensi yang lebih besar. Bayangkan jika tren ini digunakan untuk kampanye isu sosial.Â
Dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental di kalangan generasi muda, maraton bisa menjadi platform untuk menghapus stigma dan mengedukasi masyarakat.Â
Misalnya, sebuah acara lari yang didedikasikan untuk mendukung layanan kesehatan mental bisa menciptakan dampak yang luas.
Batasan dan Kebutuhan Dukungan Sistemik
Meski maraton membawa banyak manfaat, ini bukan solusi menyeluruh.Â
Generasi muda membutuhkan lebih dari sekadar rutinitas olahraga untuk menemukan stabilitas.Â
Sistem pendidikan yang mengajarkan cara mengelola tekanan hidup, akses yang lebih luas ke layanan kesehatan mental, dan peluang karier yang bermakna juga sama pentingnya.
Maraton memang menjadi awal yang baik, tetapi kita tidak bisa mengandalkan aktivitas ini sebagai semata jalan keluar.Â
Sebagai masyarakat, kita perlu mendukung generasi muda dengan cara yang lebih holistik.Â
Misalnya, mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental di sekolah atau menyediakan layanan konseling gratis bagi anak muda.
Melampaui Garis Finis
Maraton telah menjadi simbol pencarian stabilitas bagi generasi muda.Â
Di tengah ketidakpastian hidup, mereka menemukan makna dalam setiap langkah menuju garis finis.Â
Tapi perjalanan mereka tidak harus berhenti di sana.Â
Negara perlu menciptakan sistem yang lebih mendukung pemuda untuk membantu mereka menemukan stabilitas yang lebih dalam dan berkelanjutan.
Jadi nanti, ketika Anda melihat anak muda berlari di jalanan, jangan hanya memuji stamina mereka.Â
Pikirkan juga bagaimana kita, sebagai masyarakat, bisa membantu mereka terus melangkah, bahkan setelah sepatu lari mereka dilepas.Â
Maraton hanyalah awal dari perjalanan panjang menuju kehidupan yang lebih stabil dan bermakna.
***
Referensi:
- GoodStats. (2024). Gen Z dan milenial Indonesia harapkan pendidikan kesehatan mental masuk kurikulum. GoodStats.Â
- Kompas Lifestyle. (2024, August 29). Menurut survei, Gen Z paling banyak mengalami gangguan mental. Kompas Lifestyle.Â
- Vox. (2024). Marathons are getting more popular with Gen Z. Here's why. Vox.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H