Menurut artikel dari Kompas Lifestyle, generasi muda, terutama Gen Z, memiliki prevalensi gangguan mental tertinggi dibanding kelompok usia lainnya. Depresi dan kecemasan menjadi masalah besar.Â
Dalam konteks ini, maraton menjadi lebih dari sekadar olahraga. Berlari terbukti meningkatkan hormon endorfin yang membuat seseorang merasa lebih bahagia.Â
Selain itu, aktivitas ini menghubungkan mereka dengan komunitas baru, membantu melawan epidemi kesepian yang sedang meningkat.
Seseorang akan berusaha berhenti dari kebiasaan buruk, seperti vaping, karena ingin meningkatkan performanya di maraton. Transformasi ini menunjukkan bagaimana maraton dapat menjadi alat perubahan gaya hidup yang lebih sehat.
Namun, kita juga harus realistis. Ketergantungan pada aktivitas eksternal seperti maraton bisa menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan dukungan lain.Â
Bagaimana jika suatu saat mereka berhenti lari? Apakah mereka akan kehilangan stabilitas yang selama ini dikejar?
Maraton dan Konteks Sosial di Indonesia
Di Indonesia, fenomena maraton punya daya tarik tersendiri.Â
Dalam budaya kita yang kaya akan kebersamaan, maraton mencerminkan nilai ini.Â
Saat ribuan pelari berjuang mencapai garis finis, mereka berbagi pengalaman yang sama.Â
Tidak ada hirarki di lintasan lari, semua memiliki tujuan yang sama.
Namun, maraton di Indonesia juga memiliki potensi yang lebih besar. Bayangkan jika tren ini digunakan untuk kampanye isu sosial.Â