Bayangkan, bagaimana seorang difabel mental yang tinggal di pelosok bisa memahami tata cara mencoblos jika sosialisasinya hanya dilakukan di kota besar seperti Jakarta?Â
Atau, bagaimana jika petugas KPPS tidak dilatih untuk menghadapi situasi khusus?Â
Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian serius jika kita ingin benar-benar mewujudkan inklusivitas.
Pentingnya Evaluasi dan Pelatihan Berkelanjutan
Simulasi ini juga mengajarkan satu hal penting: evaluasi adalah kunci.Â
Tanpa evaluasi, kita hanya berjalan di tempat.Â
Sudahkah kita benar-benar memetakan apa saja tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas saat mencoblos?Â
Apakah TPS kita sudah cukup ramah bagi semua orang?
Pelatihan berkelanjutan bagi petugas KPPS juga sangat penting.Â
Ini bukan sekadar soal tahu aturan, tetapi juga memahami kebutuhan pemilih yang beragam. Misalnya, bagaimana membantu difabel fisik tanpa membuat mereka merasa direndahkan.Â
Atau bagaimana memberikan penjelasan yang sederhana namun jelas bagi difabel mental. Ini semua adalah bagian dari membangun kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
Kesimpulan
Bagi saya, inklusivitas adalah salah satu pilar demokrasi. Jika satu kelompok masyarakat merasa terpinggirkan, maka demokrasi kita belum sepenuhnya utuh.Â