Sahbirin Noor, Gubernur yang dikenal dengan julukan "Paman Birin," tiba-tiba mengundurkan diri setelah status tersangkanya dalam kasus korupsi dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.Â
Beberapa hari lalu, kabar mengejutkan datang dari Kalimantan Selatan.Langkah ini sontak mengundang banyak pertanyaan. Apakah keputusan ini murni demi menjaga stabilitas pemerintahan? Ataukah ini sekadar langkah politik untuk meredam tekanan hukum dan publik?
Menjaga Citra di Tengah Sorotan
Sebagai seorang pemimpin yang sudah menjabat selama dua periode, Sahbirin Noor tentu memahami betul bagaimana sorotan media dan tekanan publik dapat memengaruhi reputasinya.Â
Berdasarkan pendapat M.S. Sidq dari Center for Development Studies Institute, pengunduran diri ini bisa dianggap sebagai manuver politik yang terukur.Â
Langkah seperti ini, menurut saya, adalah cara pintar untuk menjaga citra pribadi dan melindungi keluarganya yang kini terlibat dalam kontestasi politik di Kalimantan Selatan.
Namun, ada sisi lain yang membuat saya berpikir. Jika status tersangka telah dibatalkan, kenapa tidak melanjutkan tugas sebagai gubernur?Â
Bukankah ini juga bisa menjadi kesempatan untuk menunjukkan komitmen terhadap pemerintahan yang bersih dan transparan?
Pengunduran Diri: Strategi yang Biasa?
Langkah seperti ini bukan hal baru di politik Indonesia.Â
Contohnya, mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, yang juga memilih mundur setelah terjerat kasus etik. Saat itu, banyak pihak menilai pengunduran diri Firli sebagai cara untuk menghindari penegakan etik yang lebih ketat.Â
Dalam kasus Sahbirin Noor, situasinya sedikit berbeda karena ia berada di tengah dugaan korupsi yang melibatkan dana senilai Rp 12 miliar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada 2024 mencatat angka 3,85, menurun dari tahun sebelumnya.Â