Data dari Populix pada 2024 menunjukkan bahwa 63% pencari kerja merasa kesulitan memenuhi syarat pengalaman kerja yang dibutuhkan. Ini menciptakan ketidakcocokan antara pendidikan yang diterima dan kebutuhan pasar. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman daripada sekadar gelar akademik.
Di sisi lain, privilese sosial juga memainkan peran penting dalam mendapatkan pekerjaan.
Mereka yang berasal dari keluarga mampu atau memiliki koneksi sering kali lebih mudah mendapatkan posisi yang baik dibandingkan dengan mereka yang berjuang sendiri. Hal ini semakin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin dalam akses pendidikan dan pekerjaan.
Perlunya Transformasi Paradigma Pendidikan
Melihat fenomena ini, sudah saatnya kita melakukan transformasi paradigma pendidikan di Indonesia.Â
Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai jalan untuk meraih status sosial atau jabatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengembangkan kapasitas individu dan masyarakat.Â
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mengajarkan kita untuk hidup bersama."Â
Ini berarti pendidikan harus mampu membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan untuk menghadapi tantangan sosial.
Pendidikan harus berfungsi sebagai alat pemberdayaan sosial. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang tanpa terhalang oleh status sosial atau ekonomi.Â
Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Kesimpulan
Kontroversi mengenai gelar doktor Bahlil Lahadalia dan Raffi Ahmad adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya integritas dalam pendidikan.Â
Gelar akademik seharusnya mencerminkan kemampuan nyata seseorang dan bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan jabatan.Â