gelar doktor yang diperoleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, serta presenter terkenal, Raffi Ahmad.Â
Dalam beberapa waktu terakhir, publik di Indonesia dikejutkan oleh berita mengenaiKontroversi ini bukan hanya sekadar tentang gelar akademik, tetapi mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam sistem pendidikan kita.Â
Gelar akademik seharusnya menjadi cerminan kompetensi dan pengetahuan seseorang, bukan sekadar simbol status sosial.Â
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja.
Pendidikan Tinggi dan Status Sosial
Sejak lama, pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai puncak prestasi. Masyarakat percaya bahwa memiliki gelar akademik akan membuka pintu kesempatan kerja dan meningkatkan status sosial.Â
Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan sarjana mencapai 5,18%, meningkat dari tahun sebelumnya.Â
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar tinggi, kenyataannya tidak semua dari mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kita sering melihat politisi dan pejabat publik yang bangga dengan gelar akademik mereka. Namun, pertanyaannya adalah, apakah mereka benar-benar memiliki kapasitas untuk menjalankan tugas mereka?Â
Dalam kasus Bahlil Lahadalia, kelulusan yang cepat dan dugaan plagiarisme dalam disertasinya memicu pertanyaan tentang integritas akademik.Â
Apakah gelar doktor yang ia peroleh benar-benar mencerminkan kemampuannya sebagai pemimpin? Atau hanya sekadar formalitas untuk meningkatkan legitimasi jabatan?
Kesenjangan antara Pendidikan dan Pasar Kerja
Kenyataan pahit lainnya adalah bahwa banyak lulusan dengan gelar tinggi kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.Â