Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Khittah dan Pragmatisme: Dilema Warga NU dalam Konflik PKB-PBNU

29 Agustus 2024   19:30 Diperbarui: 29 Agustus 2024   19:38 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PKB. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Konflik antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang kembali memanas belakangan ini bukan sekadar pertarungan politik biasa. Konflik ini menyangkut pandangan, jati diri, dan pengaruh yang dapat mengubah peta politik Islam Indonesia di masa depan.

Muktamar PKB ke-6 di Bali yang kembali memilih Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Ketua Umum menjadi titik kulminasi ketegangan yang telah lama terpendam. PBNU yang merasa memiliki "hak historis" atas PKB menolak hasil muktamar tersebut. Bahkan, beredar kabar akan ada muktamar tandingan.

Situasi ini mengingatkan kita pada pepatah lama: ketika dua gajah bertarung, rumput yang terinjak.

Lantas, bagaimana sikap para kiai pesantren dan tokoh NU akar rumput menghadapi konflik ini?

Berdasarkan pertemuan ratusan kiai di Pesantren Tebuireng, Jombang, terungkap keresahan mendalam di kalangan mereka. Para kiai menegaskan bahwa hubungan PKB-PBNU bukan sekadar hubungan politik, tapi juga ideologis, historis, dan kultural.

Mereka mendesak PBNU untuk mengambil langkah strategis memperbaiki PKB yang dinilai semakin jauh dari marwah awalnya[4].

KH Amin Said Husni, salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan bahwa struktur PKB seharusnya mencerminkan struktur NU, dari tingkat pusat hingga daerah. Ini menunjukkan keinginan kuat para kiai untuk mengembalikan PKB ke "khittah"-nya sebagai representasi politik NU[4].

Namun, keinginan ini berbenturan dengan upaya Cak Imin untuk membangun PKB sebagai partai yang lebih mandiri dan tidak sekadar "sayap politik" NU.

Keputusan PKB untuk melepaskan diri dari bayang-bayang PBNU tentu berdampak signifikan terhadap basis dukungan dan elektabilitasnya di kalangan warga Nahdliyin.

Jay Akbar dalam artikelnya menyoroti risiko PKB kehilangan legitimasi di mata warga NU dan potensi berkurangnya dukungan pemilih[1]. Ini bukan ancaman kosong. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa partai-partai berbasis massa Islam yang kehilangan dukungan ormas induknya cenderung mengalami penurunan suara drastis dalam pemilu.

Namun, Cak Imin tampaknya yakin bahwa PKB bisa bertahan tanpa "restu" resmi PBNU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun