Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Lokal dalam Cengkeraman Cawe-Cawe

28 Agustus 2024   06:00 Diperbarui: 28 Agustus 2024   06:06 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cawe-cawe dalam Pemilihan Kepala Daerah (Diolah dengan DallE)

Pemilihan kepala daerah (pilkada) seharusnya menjadi pesta demokrasi yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin sesuai aspirasi mereka. Namun realitasnya, pilkada kerap diwarnai berbagai pelanggaran dan intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan, terutama penguasa. 

Fenomena "cawe-cawe" atau campur tangan penguasa ini telah lama menjadi duri dalam daging demokrasi lokal di Indonesia.

Pola intervensi penguasa dalam pilkada telah berevolusi dari waktu ke waktu. Di masa lalu, intervensi lebih bersifat terang-terangan melalui mobilisasi aparat birokrasi. Kini, modus operandinya semakin canggih dan tersamar. 

Menurut penelitian Yuhandra dkk (2023), salah satu bentuk intervensi terkini adalah pemanfaatan celah regulasi dan kelemahan pengawasan. Ketidakpastian interpretasi peraturan teknis pilkada membuka peluang bagi penguasa untuk melakukan intervensi secara "legal".

Implikasi dari intervensi ini sangat serius bagi kualitas demokrasi lokal. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang kontestasi ide dan program, berubah menjadi pertarungan kekuatan dan sumber daya. Akibatnya, pemimpin yang terpilih seringkali bukan yang terbaik, melainkan yang paling mahir memanfaatkan celah sistem. 

Ini tentu kontraproduktif bagi upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik di daerah.

Lantas, sejauh mana efektivitas regulasi dan mekanisme pengawasan yang ada dalam mencegah intervensi penguasa? 

Penelitian Andri dkk (2020) menemukan bahwa meski secara formal pengawasan pilkada sudah berjalan sesuai regulasi, namun masih ada kendala signifikan. Minimnya laporan dari masyarakat dan kurangnya tindak lanjut atas laporan yang masuk menjadi titik lemah utama. 

Ini mengindikasikan bahwa regulasi yang ada belum cukup untuk membendung cawe-cawe penguasa.

Kelemahan utama yang perlu diperbaiki adalah penguatan kapasitas dan independensi lembaga pengawas seperti Bawaslu. Yuhandra dkk (2023) menggarisbawahi pentingnya konsolidasi sistem perencanaan Bawaslu dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. 

Tanpa ini, Bawaslu akan terus kesulitan mendeteksi dan menindak intervensi penguasa yang semakin canggih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun