Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Suka Iseng Nulis

Seorang Millenial Berbulu Gen-Z

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apakah Narasi Agama Cukup untuk Menjamin Kesiapan Menikah di Usia Muda?

9 Agustus 2024   18:48 Diperbarui: 9 Agustus 2024   18:49 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan muda. Foto oleh Danu Hidayatur Rahman dari Pexels.

Pernikahan muda di Indonesia seringkali dikaitkan dengan ajaran agama, di mana narasi religius digunakan untuk membenarkan dan bahkan mendorong pernikahan di usia dini. Namun, seiring dengan meningkatnya angka perceraian dan masalah dalam pernikahan dini, penting untuk meninjau kembali bagaimana narasi agama ini membentuk pandangan generasi muda tentang pernikahan dan kematangan beragama.

Narasi agama yang digunakan dalam kampanye pro-pernikahan muda sering kali didasarkan pada pemahaman yang sempit tentang ajaran agama, yang cenderung menekankan pentingnya menjaga moralitas dan menghindari dosa. Dalam konteks ini, pernikahan dini dianggap sebagai solusi untuk menghindari perbuatan maksiat, dengan anggapan bahwa menikah di usia muda akan membantu menjaga kemurnian moral. 

Pendekatan ini, sayangnya, sering mengabaikan aspek kematangan emosional dan spiritual yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pernikahan.

David C. Dollahite dan Loren D. Marks dalam artikel mereka "Positive Youth Religious and Spiritual Development" menunjukkan bahwa perkembangan religius yang sehat dalam keluarga dapat membentuk pandangan anak muda tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Namun, penelitian ini juga menekankan pentingnya kematangan spiritual yang sejati, yang tidak hanya berfokus pada kepatuhan terhadap aturan agama tetapi juga pada pemahaman yang mendalam dan reflektif tentang nilai-nilai religius (1).

Di sisi lain, Benoît Vermander dalam "Plots and Rhetorical Patterns in Religious Narratives" mengeksplorasi bagaimana pola-pola narasi religius digunakan untuk membentuk persepsi dan keyakinan penganut agama. Vermander menyoroti bahwa narasi religius sering disusun secara strategis untuk mempengaruhi opini publik, termasuk dalam konteks pernikahan muda. 

Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah narasi tersebut benar-benar mendukung kematangan emosional dan spiritual atau justru sekadar mempromosikan kepatuhan tanpa refleksi (2).

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah generasi muda yang dibesarkan dengan narasi religius yang sempit ini benar-benar siap untuk menjalani kehidupan pernikahan yang kompleks? 

Penelitian John Bartkowski dan timnya menunjukkan bahwa religiositas orang tua dapat memiliki dampak yang beragam pada perkembangan anak-anak, termasuk dalam hal prestasi akademis dan perkembangan sosial-psikologis. Sementara agama dapat mengajarkan nilai-nilai moral yang kuat, tanpa kematangan spiritual yang mendalam, anak-anak ini mungkin tidak sepenuhnya siap untuk menghadapi tantangan pernikahan (3).

Di Indonesia, di mana agama memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari, narasi pro-pernikahan muda yang berbasis agama ini perlu ditinjau kembali. Kampanye yang mendorong pernikahan dini dengan alasan religius harus mulai memperhitungkan aspek kematangan emosional dan spiritual, bukan sekadar kepatuhan pada norma agama. 

Reformulasi narasi ini diperlukan agar generasi muda tidak hanya mengikuti dogma, tetapi juga mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan matang tentang pernikahan.

Sebagai kesimpulan, narasi agama yang digunakan dalam kampanye pernikahan muda memang memiliki dampak besar dalam membentuk pandangan generasi muda. Namun, tanpa disertai dengan pengajaran yang mendalam tentang kematangan beragama, narasi ini berisiko mendorong keputusan yang prematur dan kurang bijak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun