Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Sebagai Alat Manipulasi di Dalam Politik

26 Juli 2024   17:40 Diperbarui: 26 Juli 2024   17:40 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda terpengaruh oleh pidato yang begitu meyakinkan hingga Anda terdorong untuk bertindak? 

Atau mungkin Anda pernah merasa termanipulasi oleh kata-kata yang terdengar begitu masuk akal, namun setelah ditelaah lebih dalam, ternyata berbau propaganda? 

Dalam era informasi yang serba cepat, pesan-pesan politik berseliweran di berbagai platform.

Di sinilah kemampuan untuk membaca dan memahami bahasa politik menjadi semakin penting. 

Artikel ini akan mengupas bagaimana bahasa digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, membingkai realitas, dan memanipulasi opini publik. 

Kita akan melihat bagaimana bahasa dapat menjadi senjata yang ampuh, baik untuk menyatukan maupun memecah belah sebuah bangsa.

1. Bahasa: Jembatan dan Tembok Pemisah

Bahasa adalah cerminan dari identitas suatu kelompok. Ia membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan berinteraksi dengan dunia. 

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, telah berhasil menyatukan keberagaman suku dan budaya di Indonesia. Namun, bahasa juga dapat menjadi alat untuk membedakan kelompok satu dengan yang lainnya. 

Politik identitas seringkali memanfaatkan bahasa untuk menguatkan batas-batas kelompok dan menciptakan "kita" versus "mereka".

Pada masa Orde Baru, penggunaan istilah seperti "pribumi" dan "non-pribumi" secara sengaja menciptakan polarisasi sosial yang mendalam. 

Begitu pula, dalam konteks global, bahasa dapat menjadi alat untuk mengklaim wilayah dan identitas, seperti penggunaan bahasa dalam konflik etnis di berbagai belahan dunia.

2. Retorika Sebagai Teknik Manipulasi Bahasa

Politikus seringkali menggunakan berbagai teknik manipulasi bahasa untuk mencapai tujuan mereka. 

Framing, misalnya, digunakan untuk menyajikan isu-isu dengan cara yang menguntungkan bagi pihak tertentu. 

Eufemisme digunakan untuk menyamarkan tindakan yang tidak populer, sedangkan dysphemism digunakan untuk menyerang lawan politik. 

Selain itu, disinformasi dan hoaks juga menjadi alat yang efektif untuk membingungkan publik dan mengalihkan perhatian dari isu-isu penting.

Salah satu contoh yang sering kita temui adalah penggunaan label "radikal" atau "ekstrem" untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. 

Istilah ini seringkali digunakan secara sewenang-wenang untuk mendelegitimasi pandangan yang berbeda dan membenarkan tindakan represif

3. Manipulasi Bahasa Adalah Ancaman bagi Demokrasi

Manipulasi bahasa dalam politik memiliki konsekuensi yang luas dan mendalam bagi masyarakat. Salah satu dampak yang paling nyata adalah polarisasi. 

Ketika kelompok-kelompok sosial diadu domba dengan menggunakan bahasa yang provokatif dan membingkai isu-isu dengan cara yang memicu permusuhan, sulit bagi masyarakat untuk mencapai konsensus dan bekerja sama. 

Polarisasi ini dapat menghambat pembangunan dan kemajuan bangsa.

Manipulasi bahasa memiliki dampak yang sangat serius bagi masyarakat. 

Selain polarisasi dan radikalisasi, manipulasi bahasa juga dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap institusi, menghalangi dialog yang konstruktif, dan melemahkan demokrasi. 

Survei Litbang Kompas tahun 2019 {1]  menunjukkan bahwa polarisasi politik di Indonesia semakin meningkat, dan hal ini tidak terlepas dari penggunaan bahasa yang provokatif dan memecah belah.

Selain polarisasi, manipulasi bahasa juga dapat memicu radikalisasi. Penggunaan bahasa yang ekstremis dan kebencian dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan kekerasan. 

Radikalisasi sering kali dipicu oleh narasi yang menyederhanakan masalah dan menggambar musuh yang jelas.

Ketidakpercayaan adalah dampak lain yang serius dari manipulasi bahasa. 

Ketika masyarakat terus-menerus dibombardir dengan informasi yang salah atau menyesatkan, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi dan pemimpin. 

Ketidakpercayaan ini dapat melemahkan demokrasi dan membuka jalan bagi munculnya otoritarianisme.

4. Peran Media Sosial dan Pendidikan Dalam Melawan Manipulasi

Media sosial telah mempercepat penyebaran informasi, baik yang benar maupun yang salah. 

Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna seringkali menyajikan konten yang memicu emosi, seperti kemarahan atau ketakutan. 

Hal ini memperkuat polarisasi dan membuat masyarakat semakin sulit untuk membedakan fakta dari fiksi. Akibatnya, pendidikan menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. 

Dengan meningkatkan literasi media dan kritis terhadap informasi, individu dapat lebih mampu mengenali manipulasi bahasa dan membuat keputusan yang lebih baik.

Contoh kasus:

Pilpres Amerika Serikat

Kampanye Donald Trump (2016)

  • "Make America Great Again": Slogan ini sangat efektif dalam membangkitkan nostalgia dan harapan akan masa lalu yang lebih baik. Namun, definisi "great" yang dimaksud sangat subjektif dan dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kelompok.
  • "Drain the Swamp": Slogan ini digunakan untuk menggambarkan korupsi di Washington DC dan janji untuk membersihkan pemerintahan. Slogan ini sangat sederhana dan mudah diingat, namun kurang spesifik mengenai tindakan konkret yang akan diambil.
  • Penggunaan kata-kata kasar dan provokatif: Trump sering menggunakan bahasa yang kasar dan provokatif untuk menarik perhatian media dan membangkitkan emosi pendukungnya. Hal ini berhasil membedakan dirinya dari kandidat lain dan menciptakan citra sebagai sosok yang berani dan jujur.

Kampanye Hillary Clinton (2016)

  • "Stronger Together": Slogan ini menekankan pada persatuan dan inklusivitas. Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa slogan ini terlalu generik dan tidak memberikan pesan yang jelas.
  • Fokus pada kebijakan: Kampanye Clinton lebih banyak fokus pada kebijakan-kebijakan spesifik, seperti reformasi kesehatan dan ekonomi. Namun, pendekatan ini dianggap terlalu membosankan oleh sebagian pemilih yang menginginkan perubahan yang lebih radikal.

Analisis

  • Framing: Kedua kandidat menggunakan framing yang berbeda untuk menarik dukungan. Trump menggunakan framing yang sederhana dan emosional, sedangkan Clinton menggunakan framing yang lebih kompleks dan berorientasi pada kebijakan. 
  • Generalisasi: Kedua kandidat sering menggunakan generalisasi untuk menggambarkan kelompok tertentu. Misalnya, Trump sering menyebut imigran sebagai ancaman bagi keamanan nasional, sedangkan Clinton sering menggambarkan pendukung Trump sebagai rasis. 
  • Personalisasi: Kedua kandidat juga sering menyerang karakter pribadi lawan politiknya. Hal ini membuat debat publik menjadi lebih personal dan kurang substansial.

Kesimpulan

Bahasa adalah alat yang sangat kuat, baik untuk menyatukan maupun memecah belah. 

Dalam era informasi yang serba cepat, kita perlu lebih kritis terhadap bahasa yang kita gunakan dan konsumsi. 

Jika kita memahami bagaimana bahasa dapat dimanipulasi, kita dapat menjadi warga negara yang lebih cerdas dan mampu membedakan antara fakta dan fiksi. 

Dengan meningkatkan literasi media dan kritis terhadap informasi, kita dapat melawan manipulasi bahasa dan membangun masyarakat yang lebih demokratis dan toleran.

Referensi:

1. https://nasional.kompas.com/read/2023/07/11/05344661/survei-litbang-kompas-publik-khawatir-polarisasi-terulang-pada-pemilu-2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun