Ar. Aku mengenalnya sebagai seorang yang realistis, tak muluk, tak banyak menimbang, juga bukan pemaksa. Wajar saja jika dalam hal ini pun aku ingin sepertinya. Kenyataannya, aku seorang yang kaku, pemimpi gila, dan plin-plan. Sangat jauh dari perangainya. Aku selalu berada di stadium bawah untuk memahami hal-hal begini. Lambat sekali aku bisa mengerti. Hingga kadang, aku menjadi sangat terpuruk dan apatis. Mengambinghitamkan Tuhan atas tak kelarnya masalah yang harus kuselesaikan. Padahal mestinya, akulah yang harus lebih belajar mencermati sebuah hal yang tercipta buatku. Ada rahasia dalamnya. Tak perlu dibuat rumit, cukup mencari jawabnya. Tinggal menerima dan menafsir. Sebab pola rancang untukku pasti selalu tak pernah salah kalau pembuatnya adalah perancang kehidupan ini.
Ar, aku mengenalnya sebagai pilihan. Pilihan dari memilih yang terpilih. Seperti Tuhan yang memilihku. Jauh hari telah ia tahu dan siap menggaransiku dengan kata layak terpilih. Tuhan memilihku? Awesome! Aku spesial kalau begitu. Kalau begitu, aku memang dipersiapkan. (apa coba!!!)
Maaf, aku selalu mengaitkan dia dengan metaforanya Tuhan. Aku terlalu minim referensi. Lembar pengalaman juga tak kalah tipisnya. Toh, memang telah diceritakan Tuhan. Siapa pun yang kehilangan tulang rusuk, akan mengembara dan berpetualang! Begitu pun Ar.
***
Rasa bersalah keranjingan berdiam di hatiku. Pada dia, muaranya. Hari ini sudah kupersiapkan sulutan keberanianku, semuanya harus selesai. Tak akan berlangsung lama lagi, aku harus memberi titik untuk setiap kemungkinan yang tak pernah jelas.
Jelas sekali kami adalah dua pecundang yang selalu menghidupkan kenyataan dalam angan namun pasti membeku tatkala dibawa ke dunia nyata. Aku dan dia nikmat merasai sendiri, tak ingin berbagi. Makin lama kenikmatan itu semakin burai, pun mulai menampakkan wujud kosongnya. Entah sudah berapa lama kami hidup dalam ilusi ini. Semakin merasakan hidup sendiri semakin cepat ingin berlari.
***
Ar bukan nama, rangkaian, atau penggalan nama. Ar hanya sebuah symbol perjalanan dan pelajaran. Ar hanyalah sebuah pemahaman tanpa penjelasan. Ar hanya bisa membentuk nada sumbang, tak bisa menarik perhatian. Ar pun tak cukup mampu menjadi makna. Ar dimiliki oleh setiap orang, banyak yang merepresentasikannya sebagai rangkaian sentimental, emosional, bahkan melankolik. tapi Tak perlu serumit itulah!!! Bagiku Ar cukup diihat sebagai sekolah rasa.
Setiap orang harus diposisikan dalam keadaan tidak tahu untuk bisa memiliki pemahaman kelak. Bukanlah kesalahan untuk menyandingkan ketidaktahuan dengan sedikit pesimis, sedih, amarah, dan berbagai hal yang dianggap kondisi dekstruktif bagi orang kebanyakan. Semuanya membentuk racikan yang sungguh menakjubkan, nuansa beritme. Akan sangat biasa saja jika catatan grafik hidup bergerak lurus, atau hanya bergerak simultan ke atas. Rasa menjadi begitu berharga setelah silih berganti ditempa berbagai hal. Bukankah kemilau sebuah kaca dihasilkan dari pembakaran berulang kali dengan intensitas panas yang tinggi? Banyak hasil menakjubkan yang diperoleh dari hal yang menyulitkan dan melelahkan! Bagiku, Ar pelajaran yangsungguh menakjubkan!!!! What an Awesome Ar!!!! (Ahai…….^_^)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H