Mohon tunggu...
Aida Raudhatul
Aida Raudhatul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang mahasiswi ilmu politik yang sedang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyikapi Perbedaan Agama Jawa dan Relevansinya bagi Kehidupan Bermasyarakat di Indonesia

7 Mei 2023   10:58 Diperbarui: 7 Mei 2023   11:07 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku "Religion of Java" karya Clifford Geertz merupakan sebuah karya unik yang menggabungkan antropologi, sosiologi, dan filsafat untuk membahas tentang agama dan budaya Jawa. Salah satu aspek yang unik dari buku ini adalah cara Geertz menggambarkan agama sebagai sebuah sistem simbolik yang kompleks. Geertz berargumen bahwa agama tidak hanya tentang keyakinan, tetapi juga tentang praktek dan simbol yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Geertz memperlihatkan bagaimana simbol-simbol ini terkait dengan struktur sosial, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat Jawa.

Di dalam buku ini juga terdapat penjelasan mengenai Priayi, Abangan dan Santri yang merupakan kelompok masyarakat Jawa yang memiliki perbedaan dalam hal pengamalan agama. Geertz memandang perbedaan antara Priayi, Abangan dan Santri sebagai sebuah pola kontras dalam pengamalan agama Jawa yang mencerminkan perbedaan status sosial dan budaya masyarakat Jawa. Dia menunjukkan bahwa Priayi dan Abangan biasanya terdapat di kalangan masyarakat Jawa yang lebih rendah, sementara Santri biasanya terdapat di kalangan masyarakat Jawa yang lebih tinggi.

Untuk lebih jelasnya, perbedaan dari tiga kelompok masyarakat Jawa menurut Geertz. Pertama, kelompok priyayi adalah kelompok yang paling terpelajar dan paling berpengaruh di masyarakat Jawa pada masa itu. Mereka biasanya terdiri dari bangsawan, birokrat, dan intelektual. Priyayi umumnya mengikuti agama Islam, tetapi mereka tidak terlalu konservatif dan lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan lain. Mereka lebih condong pada nilai-nilai kosmopolitanisme, estetika, dan kebudayaan tinggi. Kedua, Abangan adalah kelompok masyarakat Jawa yang tidak terlalu taat dalam menjalankan agama Islam. 

Mereka menggabungkan unsur-unsur agama Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lokal dan tradisional. Kelompok ini biasanya terdiri dari petani, nelayan, dan buruh. Ketiga, Santri adalah kelompok masyarakat Jawa yang paling taat dalam menjalankan agama Islam.

Namun, Geertz juga menunjukkan bahwa perbedaan antara Priayi, Abangan dan Santri sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar perbedaan status sosial dan budaya. Geertz menunjukkan bahwa ada banyak variasi dan variasi di dalam masing-masing kelompok, dan bahwa perbedaan antara mereka dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lokasi geografis, pendidikan, dan kepercayaan keluarga. Dalam beberapa hal, perbedaan antara priyayi abangan dan santri dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan. Misalnya, dalam hal ini terdapat contoh perselisihan antara abangan dan santri yang terjadi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan, khususnya di Jawa.

Salah satu kasus pertikaian antara abangan dan santri terjadi pada tahun 1949 di Desa Mlarak, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada saat itu, terjadi konflik antara kelompok abangan yang ingin mengadakan acara tradisional yang melibatkan penggunaan musik dan tarian dengan kelompok santri yang merasa bahwa acara tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Konflik ini akhirnya berujung pada kerusuhan yang merugikan kedua belah pihak.

Beberapa orang abangan tewas dan banyak pula yang terluka. Akibatnya, pemerintah mengambil tindakan tegas dengan membubarkan kelompok-kelompok abangan dan melarang kegiatan-kegiatan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Akan tetapi, seiring dengan semakin terbukanya akses informasi dan pertumbuhan toleransi antar kebudayaan dan agama, perbedaan ini seharusnya menjadi peluang untuk memperkaya keanekaragaman budaya dan meningkatkan pemahaman yang lebih baik antara kelompok masyarakat yang berbeda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun