Tepat akhir tahun, aku menyelesaikan kuliahku diUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Aku kembali kepangkuan orangtuaku di Tarakan, Kalimantan Utara, setelah empat tahun lebih menjadi perantau.Ah, ingin sekali rasanya cepat pulang. Akhir-akhir ini, pisang goreng membuatku rindu kampung halaman. Aku rindu aroma pisang goreng buatan Mama. Sore itu jalanan sepi lantaran senja perlahan memeluk matahari. Aku merasakan hawa dingin disekujur tubuh. Tidak jauh dari tempatku menunggu angkutan umum, seorang perempuan berkerudung jingga duduk dengan wajah sayup. Kelihatannya dia tengah menunggu seseorang.
Wanita itu melirik kearahku sembari tersenyum penuh arti. “Subhanallah, anggun sekali, dari sampingpun sudah terlihat menarik” gumamku dalam hati. Aku mendekik takjub. Senyum yang mengembang dibibir perempuan itu menandakan perangai yang bersahaja. Siapakah dirinya? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ingin melihatnya lagi. Seketika itu bayangan perempuan itu hilang bersama hembusan angin. Ah, delusi pikirku.
***
Diteras rumah, seluruh keluarga tengah menunggu kedatanganku. Mereka tersenyum penuh haru. “Rahmadi rindu dengan kalian,” rintihku sembari mencium tangan abah. Betapa rindu aku dengan lelaki hebat didepanku ini.
“Kami juga rindu denganmu Di.” Abah menepuk pundakku. Terlihat semburat bangga di wajahnya. Anak satu-satunya telah menjadi seorang sarjana Kehutanan, seperti harapannya.
Seusai sholat Maghrib, Abah mengajakku kerumah saudaranya, dipersimpangan jalan, tepatnya didepan mesjid dekat rumah guru ngajiku waktu kecil, paman Nanang.Aku kembali melihat sosok perempuan yang membuat buluk kudukku merinding, perempuan itu masuk ke dalam rumah Paman Nanang. Apakah itu Jennah? batinku.
Aku mencoba mengingat-ingat rupa Jennah 10 tahun lalu. Dia terlihat jauh berbeda. Kecantikannya semakin jelas ketika ia mengenakan kerudung jingga. Dia adalah teman sekelasku di Sekolah Dasar Karang Rejo. Setelah lulus, Jennah melanjutkan sekolahnya ke Pesantren di Gontor. Aku ingin menyapa namun niat baik itu kuurungkan, mengingat hubungan Abah dan Paman Nanang tidak seharmonis waktu kami kanak-kanak. Sudah beberapa tahun mereka tidak bertegur sapa. Perebutan tana asal muasal pertengkaran mereka.
“Kenapa di?” Abah bingung melihat tingkahku.
“Tidak apa bah,” sahutku sembari celingukan. Segera aku dan Abah melanjutkan perjalanan.
***
Pertemuan kedua dengan sosok Jennah membuat keingintahuanku semakin besar. Aku terusik ketika memandang senja. Waktu yang mempertemukanku dan Jennah pertama kali. Aku tidak menampik ingin kembali bertemu Jennah, meskipun hanya bersua dalam mimpi. Mungkinkah ini cinta pandangan pertama?
Selepas adzan Maghrib, aku melihat Paman Nanang mengajar ngaji, salah seorang anak tetangga di samping rumahku. Aku nekad kerumahnya. Ku pikir ini tidak akan meinmbulkan masalah.
“Assalammualaikum!” Aku menggendor-gendor pintu kayu berbahan ulin itu. Mudahan saja Jennah ada di rumah, pikirku.
“Wallaikumallam!“ sahut suara perempuan yang ku yakin adalah Jennah, seperti yang aku harapkan, Jennah membukakan pintu. Dia memakai kerudung jingga persis pertama kali kami bertemu. Dia menyambut kedatanganku dengan tatapan bingung. Kata yang inginku ucapkan pertama kali. ”Jennah, masih ingat tidak denganku? Anak laki-laki bertubuh bongsor yang sering mengusilimu. Sekarang aku berbeda, tubuhku tidak lagi bongsor. Akupun dapat memetik gitar seperti gitaris legendaris, Ian Antono.” Tiba-tiba mulutku kaku, mataku terfokus pada satu benda berbentuk persegi di dinding rumahnya. Sebuah foto pernikahan. Aku menemukan jawaban atas kegundahanku selama ini. Mengapa aku begitu bodoh? Tidak bertanya pada Abah sebelumnya. Aku terlalu malu mengakui perasaan ini.
“Jennah, aku Rahmadi. Teman masa kecilmu.” Jennah nampak kaget. Sekaligus tidak menyangka. Dia mempesilahkanku masuk. Dia masih pendiam sama seperti dulu. Ah, ingin sekali aku mengobrol banyak denganmu, batinku.
“Jennah, kamu sudah menikah?” Entah apa yang melandasiku bertanya demikian. Foto itu telah menjawab semuanya. Dia hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Senyum yang penuh tanda tanya. Buru-buru aku pamit. Apalah daya, aku takut suaminya salah berprasangka. Apalagi Paman Nanang melihatku disini. Pupuslah harapanku, belum memulaipun aku telah gagal. Sebab Jennah telah berstatus isteri orang lain.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H