Pria maskulin itu memutar-mutar asbak rokok, menungguku menghabiskan sesendok pasta dari mulutku, seakan ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “An, Aku sudah menikah, sudah lama aku ingin mengatakan ini” tuturnya pelan. Aku kaget setengah mati, kalimat yang seketika itu meruntuhkan segala impianku tentang pernikahan. “Kamu tidak bercanda bukan?” Agung menggeleng, tanpa rasa bersalah. Air mataku meleleh, tak tertahankan.
Agung mengantarku pulang, aku beranjak ke luar dari mobil alfa merah marun miliknya. Mataku sembab, mulutku sulit untuk berkata apa-apa lagi. sepanjang jalan pulang, kami bertengkar hebat. Untuk terakhir kali, aku melayangkan tamparan kewajahnya. “Lelaki jalang!” teriakku.Aku berlari menuju apartemenku. Hatiku benar-benar sakit. “Tunggu, Ani!” Dia mencoba mengejarku. Aku tak memperdulikannya.
Pagi itu, aku masih terbaring lemas, terdengar hentakan sepatu dari luar apartemenku, “Ani!” suara yang tidak ingin aku dengar. Aku beranjak turun dari ranjang, berusaha membuka mata dan bergegas mencuci muka.
“Mau apa kau kesini?,” Aku berteriak kencang. Aku menyumpal telingaku dengan cotton bud.
“Aku mencintaimu An, aku hanya ingin jujur.Sebelum terlambat, aku tidak ingin menjadi laki-laki jahat.” Kupikir dia tulus, tapi tidak semudah itu dia kembali padaku. “Ani, please..” rintihnya. Aku tetap tidak memperdulikannya.Tidak lama, diaupun enyah. Aku beraktifitas seperti biasanya. Menggosok gigi, menyiapkan sarapan dan bersiap ke kantor. Kali ini, aku seakan sulit menggerakan tanganku, sulit rasanya aku menerima kenyataan ini. Aku kembali menangis.
***
Dua hari setelah pengakuan Agung. Aku membuat janji bertemu Joo. Sahabat terbaikku selama menempuh kuliah di Universitas Oxford. Joo berkebangsaan Indonesia-Inggris. Saat ini dia tengah menyelesaikan magister di Universitas yang sama. Dulu, Joo, termasuk laki-laki populer di kampusku. Lantaran kelihaiannya dalam berbicara dan keaktifannya di berbagai organisasi. Aku mengenal Joo saat pertama masuk kuliah, kami satu kelas. Dia mahasiswa pertama yang menyapaku. Selama bersahabat dengannya, Joo tidak pernah mengenalkan kekasihnya padaku. Mereka bilang Joo penyuka sesama jenis, tetapi aku tidak percaya itu.
Mataku terpusat pada seorang laki-laki memakai kemeja bermotif vintage. Bertubuh jangkung dan bermata biru. Seperti laki-laki Eropa pada umumnya. Ya, dia Joo. Dia wara-wiri di sekitar cafe, mencoba mencariku, dengan gerakan cepat aku melambai, “Disini Joo!” teriakku, dia tersenyum.
“Ada apa denganmu?” aku tidak berdandan seperti biasa, Joo tampak bingung.
“Agung sudah menikah Joo,” Aku langsung to the point, terlihat jelas Joo kaget bukan main. Sebelum dia bicara, aku menaruh jariku ke mulutnya. “Nanti saja, aku tidak ingin nasihatmu membuat selera makanku berantakan.” Aku dan Joo diam, suasana cafe menjadi hening.
“Oh, musim semi segeralah datang.” Aku memandangi langit dengan tatapan penuh harap. Joo menatapku dengan tatapan geli.
Kami beranjak menelusuri Kota London malam hari, Joo mengajakku menaiki London Tube menggunakan oyster card. Stasiun Tube terletak di bawah gedung terminal Heathrow. Sampailah kami di menara Bridge London, kami berada di sekitar sungai Thames.
“Apa aku ditakdirkan menjadi perempuan kedua Joo?” aku melemparkan pertanyaan konyol kepadanya.
Dia terbelalak, “Lantas apa yang akan kau lakukan? Membuatnya bercerai atau mengakhiri semuanya?”
“Tidak , aku tidak sejahat itu. Tapi, aku tidak bisa menerima ini semua.” Tukasku, dia mengulum senyum.
“Ayolah Ani sadar, dia sudah beristeri. Kamu bukan tipikal perempuan perebut suami orang kan? Bukankan agamamu mengutuk hal demikian?” Apa yang dikatakan Joo benar, aku tidak pernah sadar akan hal itu. Pikiranku bercampur aduk antara cinta, impian dan masa depan. Aku sangat mencintai Agung. Aku ingin menjadi perempuannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Joo tidak bisa berbuat banyak. “Sudahlah An, kau jangan menjadi lemah seperti ini. Kau cantik, cerdas, karirmu bagus. Tidak ada lelaki yang tidak mengiginkanmu An.” Joo mengelus-elus pundakku. Aku mencoba meresapi perkataannya. Tiba-tiba saja Jooberdiri, dia mendekapku dari belakang, entah kenapa aku menikmati pelukannya. Bagiku begitu hangat dan menentramkan. Sebagian pengunjung cafe melihat heran kearah kami. Aku menghela nafas. Buru-buru aku melepaskannya. Aku dan Joo menjadi salah tingkah.
***
Sejak Joo memutuskan resign dari tempat kerjanya, pertemuan kami semakin intens. Joo bilang dia ingin menjadi penulis skenario, seperti cita-citanya dulu. Joo terkadang mengajakku ke rumahnya. Aku pikir Joo berusaha menghiburku. Rumahnya terletak di Boars Hill. Rumah Joo cukup besar, dengan sentuhan warna pastel lembut, dilengkapi dengan potongan-potongan hiasan furniture. Selera Joo memang cukup baik.Dia memperkenalkanku dengan adik perempuannya yang baru menempuh kuliah di Universitas Oxford. Wajahnya seperti boneka kestner. Dia menghampiriku. “Lucy,” dia memperkenalkan diri.
“Ani,” Aku mengulurkan tangan. Dia tersenyum hangat.
“Kekasihmu?” Dia berbisik kepada Joo.Joo hanya mengangguk. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
“Aku tinggal bersama Lucysekarang.” Joo melirik ke arah adik perempuannya, aku mengangguk pelan. Dia mempersilahkan aku masuk seperti tamu kehormatan.
“Terima kasih!” Ucapku sungkan.
Setengah hari aku menghabiskan waktu bersama Joo, dia memutar puluhan musik jazz kesukaanya. “Aku bosan Joo,” tuturku.
Aku melihat lorong unik di samping ruang tamu rumahnya, “sepertinya itu kamar Joo.” Pikirku dalam hati. “Bolehkah aku ke kamarmu?” Dia mengangguk, Joo tidak sadar, dia masih mengutak-atik gitar tuanya. Aku menyelinap masuk, buku harian Joo tergeletak di atas kasur. Aku membukanya perlahan, di halaman ke 101, aku menemukan selembar foto polaroid. Foto itu diambil ketika aku berulang tahun yang ke-21.
Oh Ani..
Baru pertama kali aku meliatmu menangis karena laki-laki. Kamu mengadu bahwa kekasihmu telah beristeri. Tapi, kami tetap mencintainya. Aku jatuh cinta diam-diam ke padamu sejak semester satu, ketika aku sering meminjam buku catatanmu. Kita menjadi akrab. Kamu dengan sikap menyebalkan. Menceritakan Agung, agung dan agung. Tetapi Aku menyukainya. Saat kamu menangis, saat kamu menunjukkan wajah polosmu. Tetapi kamu tidak pernah menengokku sekalipun.
Aku menutup buku harian itu segera, Joo sudah berdiri di ambang pintu, aku tidak berkutik. “Apa kamu sudah melihatnya An?”
“Maafkan aku Joo, aku tidak bermaksud..” Dia mengambil buku harian itu dengan paksa.
“Sudahlah, ayo keluar!.” Potong Joo, aku merasa tidak enak hati.
***
Joo, dia tidak pernah muncul lagi sejak kejadian itu. “Apakah Joo marah padaku?” aku menghela nafas. Agung menungguku di taman seperti biasa. Berkat saran Joo. Aku kembali pada Agung. Bukan sebagai kekasih melainkan sebagai rekan satu profesi. Aku telah memaafkannya. Karena hubungan kami mungkin sebuah kekhilafan.
“Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Tidak terlalu baik,” Jawabku, dia memandangku cemas.
“Apa kamu sakit?” aku menggeleng. Agung terlihat kalem dengan kemeja biru dan dasi rajut pemberianku ketika kami masih pacaran.
“Besok aku ke Indonesia.” Aku berbalik, dan menatap mata Agung lekat. Dia balas menatapku.
“Apa sesuatu terjadi pada isterimu?”
“Isteriku mengandung.” Jawabnya lesu.
“Hey, mengapa wajahmu seperti itu? Harusnya kau senang akan menjadi Ayah.” Agung hanya tersenyum. Aku mencoba bersikap biasa saja.Kami terhanyut dalam diam. Semantara itu, daun terus saja berguguran. “Apa musim semi telah berganti?” Aku menunduk pasrah.
***
Tepat pukul lima sore, pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandara Juanda Internasional, Surabaya. Aku terlahir di kota ini dua puluh lima tahun silam. Ana, adikku menunggu di lobi bandara. “Kamu terlihat kurusan kak?” Aku tersenyum tipis.
“Bagaimana keadaan Mama dirumah?” Aku mengalihkan pembicaraan
“Mama baik-baik saja, bagaimana hubunganmu dengan Mas Agung?”Tanyanya balik. Aku tidak lekas menjawab.
“Baik-baik saja.” Jawabku sekenanya. Sulit rasanya mengatakan bahwa hubungan kami telah berakhir.
Malamnya, aku bersantai di sebuah cafe bernuansa London ‘Stilrod Cafe’ seorang diri. Letaknya tidak jauh dari Kebun Binatang Suarabaya. Berbagai ornamen identik dengan London. Pada bagian pintu masuk terpampang mobil Rare Austin FX 4 keluaran tahun 1984. Di tengah-tengahnya nampak pancuran kecil di sudut kanan dengan sandingan ukiran Art Nouvu atau silir-silir dilantainya. Saat aku berjalan ke toilet, aku menabrak seorang wanita, kira-kira seusia denganku. Dia tengah hamil tua. “Maaf aku tidak sengaja.” Wanita itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala, dia berusaha mengenali.
“Kamu Ani kan?”
“Benar,” sahutku. Aku agak bingung dibuatnya
“Aku Gita, teman sekelasmu waktu SMA.” Aku berusaha mengingat. Aku menyunggingkan bibir, kami berpelukan.
Tidak banyak berubah dari sosok Gita, dia terlihat masih secantik dulu. Dia mengajakku bertemu suaminya, “Ini Agung, suamiku.” Suami Gita menoleh padaku, Aku terperanjak. Ini bukan kesengajaan, aku bukan orang jahat, batinku.
Aku berusaha tetap tenang, menahan rasa kekagetanku. Kami bersalaman seolah-olah tidak saling kenal. Agung adalah suami temanku, aku masih tidak percaya. “Aku dengar kamu kuliah di Oxford juga An? Apa kalian pernah bertemu? Suamiku mengambil S2 di sana.” Terpancar kebahagiaan di wajah Gita. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, aku memilih untuk pura-pura tidak mengenalnya.
***
Cuaca Kota Oxford sedikit cerah, semuanya tampak sama. Sebelum dan sesudah aku tinggalkan. Dua bulan terasa begitu lama, ketika harus meninggalkan negara yang penuh memoramka. Aku memilih duduk di Taman Hinskey, aku dan Agung tidak jarang menghabiskan waktu di taman ini. Aku menekuk lutut di atas hamparan rumput hijau. “Semua tidak akan pernah kembali.” Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Joo!” Sebuah email baru saja masuk, dari Lucy. Aku berlari kecil menuju jalan besar.
“Ke Boars Hill pak!” Aku masuk ke dalam taksi.
Pandanganku tertuju pada peralatan medis di kamar Joo. Menit-menit berlalu, aku masih bertahan dengan posisiku. “Apa yang terjadi?” Tubuhku bergetar, Lucy menyerahkan buku harian Joo.
“Bukalah Ani!” Aku membuka halaman terakhir buku harian itu.
Musim semi, kamu suka itu kan Ani? Begitupula aku, aku menyukaimu sama dengan kamu menyukai musim semi. Kamu layaknya peri, mengubahku menjadi laki-laki yang bersemangat hidup hanya ingin melihat senyummu, Ani.
Sekarang musim semimu sudah berubah setelah kamu tahu Agung telah beristeri. Tetapi kamu tetap mencintainya, begitupula aku tetap mencintaimu. Akhir-akhir ini aku sering pusing, kepalaku seperti hendak pecah, perutkupun tidak enak. Awalnya aku baik-baik saja, ternyata pengobatan medis tidak banyak membantu, menigitis yang ku derita semakin membuatku tidak berdaya, entah sampai kapan aku dapat bertahan.
Aku meneguk air liur, sulit untukku bicara. Lucy berdiri di sampingku, “Maaf tidak memberitahumu segera An, Joo mendadak koma. Aku tidak tahu harus menghubungimu kemana.” Jelas Lucy.
Joo cepat sadar, aku telah menyadari suatu kebenaran. Ketika kau bangun, hanya satu hal yang ingin ku tanyakan, masihkah kau mencintaiku?Ku tulis kalimat itu di akhir halaman buku harian Joo. Aku diam mematung, berharap Joo sadar dan menghampiriku, Aku masih mencintaiku An. Ah, apa aku akan kehilangan seseorang yang berarti untuk kedua kalinya.
Cinta memang selalu datang terlambat.
End,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H