Mohon tunggu...
Aida Ramli
Aida Ramli Mohon Tunggu... -

Visit my blog: tyaidaramlity.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerita Masa Lalu

5 April 2015   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah kampung kecil atau lebih tepatnya sebuah dusun terletak di ujung alun-alun kota Amuntai, Panangkalaan namanya. Disepanjang jalan menuju kampung tersebut, dikerumuni pohon kelapa berjajar tampak seperti tentara yang memangkul senjata. Sawa-sawah terhampar luas, rerimbunan ilalang jadi satu dengan pepohonan. Seorang pemuda asing lalu lalang dalam keramaian. Pemuda itu memiliki sepasang bolat mata besar, tubuh gempal dan mimik wajah tenang.

Pemuda itu berhenti di lorong-lorong kecil. Dia memandangi satu persatu pemukiman warga. “Nyari siapa ya nak?” tanya seorang laki-laki paruh baya. Bapak tua itu memangkul karung berisi pucuk pisang.

Rumahnya bapak Munir, dimana ya pak?” Sahut pemuda itu sopan. Seketika lelaki tua itu muram, entah apa yang sedang ia pikirkan. “Saya Munir, ikut saya!” tegasnya, dia berjalan pelan diikuti  oleh pemuda itu. Nampaknya bapak tua itu memikirkan sesuatu. “Mungkinkah Rahman?” gumamnya dalam hati. Wajahnya persis Hubaidah. Isteri pertamanya yang lama meninggal.

***

Malam menjemput siang, Lampu yang bergelantung tertunduk malu, menyaksikan dua beranak salin beradu pandang. Pemuda itu adalah Rahman. Putera dari istri pertama Munir. Kedatangannya, menyisakkan tanda tanya. Setelah 21 tahun mereka tidak pernah bersua. Sejenak dua bocah, anak dari istri kedua Munir, memandang heran kepada sosok lelaki berlesung pipit itu.

Munir menyodorkan sebungkus rokok kepada Rahman, dengan sigap dia menolak. “Maaf bah, Rahman tidak merokok.” Muka Munir terlihat kecut. “Ada keperluan apa kamu kesini?” gerang Munir. Dia mengepulkan asap rokok keluar jendela. Wajah Rahman seperti disembur api. Dia tertunduk lesu. Ada getaran hebat terasa didadanya. “Bapak sudah memberitahu semuanya.Sahutnya payau, ia menunduk pasrah.

Hela nafas Munir turun naik. Acapkali matanya yang sayup mengarah pada sosok Rahman. Butiran rindu menghinggap di sanubarinya. Dua puluh satu tahun silam, Abdurrahman Sholeh, lahir di Amuntai kampung Panangkalaan, Hulu Sungai Utara. Sejak usia lima bulanan, dia dibesarkan Hafid, sahabat karib Asmuni di Magelang, Jawa Tengah.

Apa Hafid bercerita apa yang terjadi di antara kami?” Rahman semakin nanar. Dia berani menatap wajah Munir perlahan

“Bapak hanya bilang, sudah saatnya Rahman tahu Bah.”  Munir memulai cerita tempo dulu, ketika dia masih kanak-kanak.

1980, Amuntai, Hulu Sungai Utara.

Hampir sepekan Munir dan Hafid kecil selayang pandang, dekat pendapo Bupati untuk bermain. Layang-layang menjadi kegemaran Munir dan Hafid kecil. Bosan bermain layang-layang, Munir dan Hafid kecil kadang menangkap ikan di pinggiran sungai.  Apabila musim pletokan tiba, permainan dari bambu tersebut menjadi santapan tiap hari Munir dan Hafid.

Saat langit mulai menggelap Munir dan Hafid kecil tidak segera pulang kerumah, mereka mampir ke saung,tempat pemuda-pemudi bersenda gurau. Mereka menikmati pembicaraan soal prahara-prahara sosial politik yang melanda tanah air. Selain itu, ada yang sekedar bermain catur sedari menunggu adzan Maghrib tiba.  Setiap ada kesempatan Hafid kecil menimpali percakapan pemuda-pemuda tersebut.

1985,Amuntai, Hulu Sungai Utara.

Karena pekerjaan, orangtua Hafid pindah domisili ke kota Magelang, Jawa Tengah,  kampung halaman mereka. Sehari kepergian Hafid. Munir mengurung diri di kamar. Acapkali mama memanggil. Munir berteriak histeris. Layang-layang usang tergeletak di samping kasur Munir, seakan merasakan kesedihan yang ia alami. Layang-layangbergoyang saat angin bersemilir kencang.

Seusai sholat Jum’at, Munir menatap dua butir kelereng terdampar tak berkutik disela-sela daun kelor yang ia injak. Ia kembali mengenang saat beradu petekan dengan Hafid. Tatkala ia antara mereka luput mengeluarkan kelereng-kelereng itu dari bundaran kapur tulis, gelak tawa menghiasi wajah mereka. Munir diam-diam menangis. Dia segera berlari ke rumah sembari melap ingus dengan baju kaos yang dia kenakan.

1990, Amuntai, Hulu Sungai Utara.

Layang-layang usang milik Munir kecil masih tergelantung disela kamar yang bingar, gelap dan terlihat lapuk dimakan usia. Bilah lidi yang menopang fondasi layang-layang Munir kecil sedikit rapuh, kertas minyak yang melekat pada bilah lidipun sedikit terkoyak. Semenjak Munir dan Hafid terpisah. Layang-layang itu tidak sempat disentuh atau dimainkan bila musim kelayangan tiba.

Munir kecil tumbuh menjadi sesosok laki-laki berperawakan tinggi besar dan gempal. Meski hanya tamatan Sekolah Dasar. Munir telah menghidupi dirinya sendiri. Munir dipercaya mengurus sebidang sawah milik juragan beras di daerahnya. Terkadang, dia mengambil upah menjadi pelangsir minyak.

Puncak kepayahan hidup Munir, tatkala dia jatuh cinta dengan Hubaidah. Perempuan yang telah memikat hatinya cukup lama. Gadis blasteran Jawa-Banjar. Anak juragan beras tempat dia bekerja. Lantas tidak direstui. Dia membawa kabur Hubaidah. Hanya bermodalkan cincin sebagai mahar pernikahan, Munir nekad menikahi Hubaidah. Tidak sampai seumur jagung, Hubaidah menghembuskan nafas terakhir setelah melahirkan buah cinta pertama mereka, Rahman. Munir kembali kekampung halamannya.

Sepasang bola  mata menatap dia ramah. Dia mengulurkan tangan lalu menepuk punggung Munir yang basah terguyur keringat. Hafid kembali. Betapa Munir merindukan teman sepermainannya itu. Tidak banyak berubah dari sosok Hafid yang terbilang tinggi besar dan cakap. Hafid terlihat berbeda dengan dirinya, yang terlihat lusuh dan tidak bersemangat.

Hafid bertandang kekampung Panangkalaan, tempat dia pernah memiliki masa kecil yang indah. Sepanjang pergulatan kisah hidup, ada semburan keperihatinan di wajah Hafid.

“Bagaimana keadaanmu sekarang Munir?” Hafid menatap raut wajah Munir lesu.

Istriku meninggal setelah melahirkan Fid.”

Kesunyian mencekam antara mereka. “Tetap tawakkal wan Gusti Allah Mun. Kamu orang pilihan Mun.” Hafid selalu mengatakan demikian ketika dirinya tertimpa mushibah. Kata-kata itu selalu terngiang manis di pelupuk ingatannya

Disela-sela orang yang wara-wiri, Munir terisak-isak. Entah sudah berapa lama dia tidak mengeluarkan airmata, dengan wajah sembab dan mata bengkak, Hafid melepas kepergian dua orang yang dia kasihi. Rahman kecil hanya merengek ketika dibawa Hafid menuju Pelabuan Trisakti, dengan tujuan Kota Magelang, Jawa Tengah. Munir membungkuk. Mengusap kepala Rahman kecil. “Jaga Rahman baik-baik Fid. Semoga Allah menjaga keluarga kalian. Bila kehidupanku mulai membaik. Aku akan membawa Rahman kembali.” Hafid mengangguk. Munir melangkahkan kaki setapak demi setapak sampai bayangannya hilang ditelan kegelapan. Ya, Munir tidak memiliki pilihan lain. Kehidupannya yang terbilang pas-pasan, tidak memungkinkannya untuk merawat dan membesarkan Rahman. Bersama Hafid, Munir yakin Rahman akan hidup berkecukupan. Munir tidak pernah menyangka, Rahman selamanya akan bersama Hafid.

***

Detak jam menemani kedua beranak yang dilanda kerinduan itu. Bunyi jangkrik seakan berlomba-lomba mentertawakan keadaan Munir. Dia berusaha mengingat peristiwa itu. Saat dia dan Hafid putus bagai benang layang-layang. Disamping itu, dua bocah istri kedua Munir terlelap pulas.

Menjelang Shubuh, Munir kembali berdongeng. “Abahmu ini sebenarnya tidak pantas untuk mendendam. Bagaimanapun Hafid sudah membesarkanmu dengan baik sampai sekarang.”  Rahman mengangguk, “Setelah itu bah?” timpal Rahman, dia tak menampik penasaran dengan cerita Bapak Asmuni.

“Masa itu sulit untuk diulang kembali,” Tutur Munir payau, Rahman mengernyitkan dahi.

Sebuah kerangka layang-layang terbujur kaku disela perampahan kaki Munir.”Abah rindu masa-masa itu Man.” Dia menerawang ke langit-langit rumah. Rahman terkesima, dia kagum dengan ketabahan abahnya.

“Abah dan layang-layang ini sama-sama permainan kehidupan. Sama-sama lapuk dimakan usia. Tetapi abah bersyukur Hafid tidak menyembunyikan asal-usulmu.” Munir menghela nafas panjang.  Sepanjang cerita Rahman terutunduk malu. Lalu, dia memegang kedua tangan Abahnya. “Maafkan Rahman bah, abah menjalani hidup berat seorang diri.” pelan dia mengusap kepala Rahman. “Bukan salah kamu Man, ini sudah menjadi takdir Abah. Kamu memang ditakdirkan tidak bersama Abah.Munir tersenyum kekeh, seakan menemukan cahaya hidupnya yang pernah hilang. Satu hal lagi yang patut dia syukuri. Dia tidak terlupakan oleh darah dagingnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun