Mohon tunggu...
Aida Rahma Pratiwi
Aida Rahma Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Depresi, Kurang Iman?

4 Juni 2022   20:06 Diperbarui: 4 Juni 2022   20:10 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Topik tentang kesehatan mental sekarang menjadi topik yang banyak dibicarakan di media sosial salah satunya adalah topik tentang depresi. Banyak orang mengira bahwa orang yang mengalami depresi adalah orang yang lemah, kurang iman, kurang ibadah, atau kurang dekat dengan Tuhan. Tapi benarkah seperti itu? Benarkah ibadah saja bisa menyelesaikan depresi? Apa itu sebenarnya depresi? Apakah depresi hanya perasaan tak nyaman yang tak kunjung hilang? Faktanya depresi tak mengenal agama atau latar belakang seseorang. Depresi juga bukan hanya sekedar kesedihan atau stress keseharian saja namun depresi merupakan suatu gangguan mental yang serius dan tidak bisa dianggap remeh. Depresi sangat berkaitan dengan kondisi otak seseorang, depresi dalam penelitiannya sering dikaitkan dengan masalah neurotransmitter atau zat kimia dalam otak yang berperan dalam regulasi mood atau suasana hati salah satunya adalah zat neurotransmitter yang bernama serotonin dan norepinephrine. Tak heran depresi masuk dalam kategori gangguan suasana hati atau mood. Depresi juga merupakan gangguan mental dengan prevalensi tertinggi setelah gangguan kecemasan oleh karenanya depresi juga sering dianggap sebagai pilek dalam dunia psikologi klinis dan psikiatri.

Jauh sebelum berkembangnya teknologi pencitraan otak yang digunakan pada penelitian dalam ilmu neurosains atau ilmu saraf, gangguan mental memang sering dikaitkan dengan kepercayaan agama dan hal hal yang bersifat mistis. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu neurosains kita tahu bahwa hal tersebut tidaklah benar. Stigma bahwa gangguan mental merupakan karma buruk atau terkait dengan hal mistis tidaklah benar. Sejatinya pandangan tentang depresi sudah ada sejak zaman dahulu kala. Depresi sendiri sejatinya sudah ada sejak zaman dulu dan bahkan catatan tentang depresi sudah ditemukan pada tulisan Hipocrates pada abad kelima sebelum masehi. Bahkan ilmuwan muslim terkenal Ibnu Sina atau lebih dikenal dengan Avicenna sudah membahas tentang depresi pada karyanya The Canon of Medicine (Bahasa Arab, al-Qnn f al-ibb) di tahun 1025. Jadi yang mitos sering beredar bahwa depresi hanya penyakit gen z tentulah tidak benar.

Mekanisme epigenetik (interaksi gen dan lingkungan) pada gangguan depresi

Namun, Sejatinya depresi juga tak melulu masalah biologis, kita manusia adalah makhluk hasil interaksi antara nature and nurture, diri kita merupakan hasil interaksi kompleks antara gen warisan dari orang tua kita dengan lingkungan kita. Walaupun gen depresi menyumbang hampir 40% resiko mengalami depresi, lingkungan tetap akan memiliki peran kunci dalam mempengaruhi apakah muncul atau tidaknya ekspresi gen depresi itu sendiri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa memiliki gen depresi saja tidak cukup untuk membuat seseorang mengalami depresi, namun gen hanya memberikan kerentanan terhadap kondisi seseorang. Namun kombinasi antara gen dan adverse life experiences misalnya ketika seseorang mengalami pengalaman hidup berat seperti pelecehan, kekerasan, perceraian, perundungan, diskriminasi dan pengalaman traumatis lainnya. Pengalaman traumatis sejatinya memberikan luka yang tak kasat mata pada seseorang. Seringkali orang mengira bahwa luka hanya yang bersifat tampak saja, namun sejatinya luka yang tak tampak ini juga tersimpan dalam diri kita.

Depresi sendiri erat kaitannya dengan masalah biopsikososial. Maka dari itu penanganan depresi sendiri seringkali harus melibatkan banyak sisi. Biasanya psikiater akan meresepkan antidepresan yang berguna agar serotonin dan norepinephrine kembali normal sebagai penanganan biologis dan merujuk pasien ke psikolog untuk dilakukan cognitive behavioral therapy  atau terapi kognitif perilaku sebagai penanganan psikologis. pemberian penanganan dari segi sosial pun akan sangat membantu sang penyintas depresi.

Jika ada diantara pembaca yang merasa butuh bantuan segeralah datang ke psikolog atau psikiater. Bersama mari kita tingkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan hapus stigma masalah kesehatan mental.

Referensi: Mendona, M. S., Mangiavacchi, P. M., & Rios, . F. (2021). Genetics and epigenetics of the SLC6A4 gene in depression. In The Neuroscience of Depression (pp. 37-45). Academic Press.

van der Knaap, Lisette J. MSc; Riese, Harritte PhD; Hudziak, James J. MD; Verbiest, Michael M.P.J. BASc; Verhulst, Frank C. MD, PhD; Oldehinkel, Albertine J. PhD; van Oort, Floor V.A. PhD Adverse Life Events and Allele-Specific Methylation of the Serotonin Transporter Gene (SLC6A4) in Adolescents, Psychosomatic Medicine: April 2015 - Volume 77 - Issue 3 - p 246-255
doi: 10.1097/PSY.0000000000000159

Flouri, E., Francesconi, M., Midouhas, E., & Lewis, G. (2020). Prenatal and childhood adverse life events, inflammation and depressive symptoms across adolescence. Journal of affective disorders, 260, 577-582.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun