Ketika bulan Ramadan tiba, umat Islam berlomba-lomba untuk memperbanyak amal ibadah, salah satunya adalah i'tikaf. I'tikaf adalah kegiatan berdiam diri di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Ada sebuah hadits yang sering dibicarakan oleh sebagian orang, yang mengatakan bahwa "barang siapa yang melaksanakan i'tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, maka dia telah melaksanakan Haji dan Umrah." Namun, penting untuk kita ketahui bahwa hadits ini termasuk hadits yang lemah (dha'if).
Apa Itu Hadits Lemah?
 Hadits sendiri adalah perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad SAW yang menjadi sumber ajaran Islam selain Al-Qur'an. Hadits diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, di antaranya:
1. Shahih: Hadits yang sanad dan matannya terpercaya dan tidak ada cacat.
2. Hasan: Hadits yang sanadnya lebih lemah daripada shahih, tapi masih bisa diterima.
3. Dha'if: Hadits yang memiliki cacat atau kekurangan dalam sanadnya, sehingga tidak bisa dijadikan pegangan utama.
 Hadits yang mengatakan bahwa i'tikaf pada 10 hari terakhir Ramadan sama dengan melaksanakan haji dan umrah ini termasuk dalam kategori hadits dha'if. Artinya, hadits ini tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat dalam agama Islam.
Asal Usul Hadits Ini
 Hadits ini tidak ditemukan dalam hadits yang sahih seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim. Para ulama hadits seperti Al-Albani, Ibn Hajar, dan lainnya mengatakan bahwa hadits ini sebagai hadits yang lemah. Alasan hadits ini dianggap lemah adalah karena sanadnya yang tidak kuat. Beberapa perawi dalam rantai sanad hadits ini memiliki masalah dalam kredibilitasnya, baik karena kerapian periwayatannya yang diragukan atau karena adanya kesalahan dalam menyampaikan informasi.
Mengapa Hadits Ini Tidak Bisa Dijadikan Pegangan?
 Karena para ulama sepakat bahwa hadits lemah tidak bisa dijadikan pegangan untuk menguatkan suatu amalan atau keyakinan. Sebab, untuk menentukan hukum dalam Islam kita harus merujuk pada hadits-hadits yang shahih dan dapat dipercaya. Jika ada amalan yang disebutkan dalam hadits lemah, maka kita harus berhati-hati dan tidak asal mengikuti, apalagi jika amalan tersebut berkaitan dengan keyakinan atau hukum.