Bukankah bumi ini indah, jika manusia tak ada.
Apa yang kau cari, (kebenaran) jangan membuatku tertawa.
Kenapa kau bunuh anak itu, padahal dia masih bisa mendengarmu.
Kau berkata, “inilah kebenaran” dengan angkuhnya lalu tinta merah pun tumpah demi apa yang kau sebut kebenaran.
Hai, apa beda kau dengan dia yang kau kutuk?
Kau bilang demi tuhanmu, kau bilang demi utusan tuhanmu. Tapi manusia egois bukan?
Mereka hanya memikirkan diri sendiri, mereka hanya melakukan apa yang menguntung bagi mereka.
Dan siapakah kau?
Mungkin saja kebenaran ada pada bahtera yang kau warnai dengan warna merah menyala.
Mungkin kebenaran ada dalam perkataan anak yang kau potong lidahnya.
Lalu apa tuhan akan memasukanmu ke surga?
Ketika kebenaran itu menjadi kesesatan, ketika tuhan menjadi setan. Sadarkah kau?
Kau adalah manusia yang lebih tinggi dari tuhanmu.
Kau pintar, tapi kebodohan ilmumu belum terkalahkan dengan kepintaranmu.
Ketika anak itu berkata kebenarannya, kau lebih memilih ilusi semata yang kau sukai.
Kau lebih ingin menenangkan diri dengan ilusi yang dibuat oleh kebusukan hatimu.
Jadi apa yang kau cari selama ini?
Apa yang kau sebut kebenaran? Jika tinta warna merah menodai seluruh tubuhmu?
Untuk apa warna merah yang kau tumpahkan? Untuk apa potongan anak itu?
Untukmu, membuatmu senang? Membuatmu bahagia?
Tidakkah kau dengar tangisan ibu yang menangis karena anaknya berubah menjadi boneka usang?
Tak kau dengar tangisan wanita yang kehilangan cintanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H