Mohon tunggu...
Ahya Udin
Ahya Udin Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang kontributor di soalmanajemen.blogspot.com, bahanmanajemen.blogspot.com, ngemengservice.blogspot.com, catatankecikku.blogspot.com, kulinemania.blogspot.com, sastra-jalanan.blogspot.com dan ahyalive.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hati-hati! Hal Kecil bernama Bantuan, Hal Besar Bernama Ketergantungan!

17 Maret 2012   02:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:56 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa waktu yang lalu aku pulang, karena sudah rindu akan keluarga dan keponakan-keponakan kecilku. Sebenarnya mereka adalah anak-anak dari sepupuku, tapi tetap keponakan juga kan namanya?
Keponakan-keponakanku ini masih kecil, mungil, dan “nakal”, cowok dan cewek sama saja. Cowok berusia 2 tahun, dan cewek baru mau menginjak satu tahun. Wajah mereka lucu-lucu, dan ekspresi mereka saat tertawa dan menangis benar-benar unik. Ketika mereka menangis, tak ada rasa marah dan sebagainya yang keluar dariku, atau dari tante dan omnya yang lain.
Hari Rabu adalah hari yang indah karena saat itu libur, dan keponakan-keponakan kecil sedang berada di rumah. Keponakan cowok tertarik dengan aquarium yang kuhiasi lampu warna-warni. Begitu deket aquarium, pertanyaan-pertanyaan meluncur tanpa rem, dan kadang kelelahan menjawabnya, tapi terasa senang. Mulai dari menanyakan tentang jenis ikan yang ada di aquarium, mengapa warnanya merah, menanyakan tentang makanan ikan,mengapa bentuknya bulet, warna-warni, dan kecil-kecil…de el el.
Setelah diberondong pertanyaan, aku tanyakan padanya.
“Mau ngasih makan ikan?”
“Iya Om, ayok..ayok….” dia menjawab dengan ekspresi yang gak bisa digambarkan oleh orang dewasa. Senyumnya lebar…lucu, dan pipinya yang cabi ingin sekali kucowel biar tambah cabi.
Aku mengajarinya cara memberi makan ikan, dan dia mengikutinya dengan senang, sambil terkadang loncat-loncat kalau ada ikan yang memakan makanan yang dia berikan. Saat asyik melihat dia memberi makan ikan dan loncat-loncat, dan ceriwis nanya ini nanya itu, ngomong ini, ngomong itu, aku dipanggil Ibu ke ruang makan untuk membantunya menyiapkan makanan.
Selesai dari ruang makan dan kembali ke aquarium di ruang tamu, aku kaget karena permukaan aquarium begitu penuh dengan makanan ikan. Aku pandangi keponakanku dan bertanya, “Hayo, kerjaan siapa ini”. Sambil meringis, dia menjawab…”kerjaan aku Om”. Bapaknya yang sedang berada di dekat situ langsung menghampirinya dan mengatakan “Dasar nakal…”, untung tak ada physical touch dari Bapaknya. Aku berkata pada ayahnya bahwa dia masih kecil, wajar melakukan itu…anak kecil itu senangnya mencoba-coba, berimajinasi, dan walaupun aku tak tahu mengapa dia memenuhi permukaan akuarium dengan makanan  ikan, tapi aku percaya bahwa dia sedang mengembangkan pikirannya. Keponakanku yang dibilang nakal hanya diam dan sedikit sedih. Untuk menghiburnya, aku mengajaknya mengambil kembali makanan ikan di permukaan aquarium.
“Dzul…”. Aku memanggilnya. Dia melihatku masih dengan muka agak sedih.
“Tahu nggak apa yang salah?”
“Gak tahu Om”
“Tadi Om bilang bahwa memberi makanan ikan sedikit-sedikit saja, ikannya kan kecil-kecil dan sedikit. Jadi kalau dikasih makanan sebanyak itu, sia-sia, hanya buang makanan, dan kalau ikannya kekenyangan gimana, kan ntar dia gak bisa bermain, diem doang”.
“Iyah ya Om?”
“Iya, tapi karena sekarang kamu sudah terlanjur ngasih makanan sebanyak itu, jadi kamu harus tanggung jawab untuk mengambilnya dari aquarium. Nanti Om ajarin caranya. Mau kan?”
Mendengar itu dia senang kembali, mungkin seperti kata Mbah Suroso atau siapapun itu di TV, keponakanku kayaknya cocok dengan air karena begitu mendengar ada kata air, dia akan bersemangat.
Aku berniat untuk mengajarinya bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Mungkin bukan kesalahan tepatnya, karena dia masih kecil dan belum tahu. Tetapi aku ingin memberitahunya untuk melihat bagaimana seharusnya sesuatu itu berjalan..
Aku mengajarinya sekali dua kali bagaimana mengambil makanan ikan dari aquarium. Dia terlihat bersemangat. Beberapa kali dia gagal mengambilnya, namun ketika aku meminjam alatnya untuk mengajarinya, dia tidak mau dan bilang mau mencoba lagi. Akhirnya aku hanya memandanginya sambil sesekali tersenyum melihat dia gagal dan coba lagi. Bukan tersenyum akan kegagalannya, tetapi tersenyum akan usahanya. Dan, aku biarkan dia berimajinasi tentang bagaimana mengambil makanan ikan di aquarium, membiarkan pikirannya berkembang.
Waktu berlalu, dan karena sudah saatnya makan, akhirnya kami makan bersama. Keponakanku yang cowok makan sendiri, belepotan, tapi lucu seperti biasanya. Sedangkan yang cewek sama ibunya.
Setelah makan, keluarga kecil bahagia itu berpamitan untuk pulang. Karena aku bahagia dikunjungi keponakan-keponakanku, dan karena saat itu aku sedang ada duit, aku kasih duit ke keponakanku cowok. Tapi dia menolaknya sambil tangannya dalam posisi dibelakang seperti sikap istirahat pasukan baris berbaris. Dia malah lari ke depan. Sesaat kemudian, ibunya berpamitan kepadaku sambil menggendong keponakankuu yang cewek, dan aku iseng ngasih duit ke keponakan cewek yang belum genap satu tahun. Eh, duitnya diterima sama dia dan digenggamnya erat. Saat ibunya bilang kalau itu buat kakaknya dan mencoba melepas duitnya, si cewek tetap memegangnya erat. Ekspresi keponakanku  seperti biasa…lucu dan penasaran.
Sepupuku sudah tidak sabar untuk menghidupkan motor dan menunggu istri dan anak-anaknya berpamitan. Mereka kemudian naik motor. Entah darimana tiba-tiba keponakanku yang cowok berlari-lari dari belakang sambil berteriak-teriak.
“Ayah…ayah, aku jangan ditinggal”…
Huh, ni keponakan, tadi di depan sekarang lari-lari dari belakang. Batinku.
“Cepetan naik, di depan ya.”
Aku dan Ibuku ke teras, dan pas sampai di teras, kami melihat keponakan kecil yang cowok kesulitan naik motor..beberapa kali coba gak bisa naik-naik. Ayahnya tidak membantunya. Ibuku akhirnya ngomong ke aku.
“Itu keponakanmu dibantu naik motor.”
Aku hanya diam.
“Itu loh, keponakan kesulitan kok gak dibantu, sana dibantu…”
Aku diam lagi, dan melihat keponakanku berusaha. Akhirnya dia bisa juga naik ke motor. Merekapun berpamitan kembali dan sepupuku menjalankan motornya.
Aku dan Ibuku kemudian duduk di teras. Aku minta maaf kepada Ibuku karena tidak membantu si kecil. Aku sampaikan alasannya, bahwa aku ingin keponakan-keponakanku sebisa mungkin untuk berusaha sendiri terlebih dahulu, dan tugasku adalah mempercayai kemampuannya. Hingga kalau dia benar-benar tidak bisa atau dia minta bantuan saat benar-benar kesulitan, aku akan membantunya.
Menurutku ini sangat penting dalam mendidik keponakanku, yaitu sebisa mungkin mereka berusaha dengan keringatnya sendiri, agar suatu kelak kalau dia beranjak besar, akan tertanam jiwa mandiri dalam dirinya.
Begitulah, bagi kita yang dewasa mungkin sangat ringan membantunya, terlihat sebagai bantuan yang kecil. Tapi kalau itu diberikan secara intens, maka akan memberikan dampak yang besar, yaitu ketergantungan akan bantuan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun