Mohon tunggu...
Ahyar Stone
Ahyar Stone Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Setiap perjalanan adalah pelajaran, karena itulah, perjalanan paling buruk sekalipun, tetap membawa pelajaran yang baik (Ahyar Stone)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lelaki di Tengah Hujan: Novel Sejarah Melawan Arus yang Pantas Difilmkan

22 Maret 2019   10:59 Diperbarui: 22 Maret 2019   12:07 8524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LELAKI DI TENGAH HUJAN, novel karangan penulis berbakat Henri Wanhar, benar-benar novel melawan arus. Bahkan saat diluncurkan ke publik, aroma perlawanan novel bercover hitam ini sudah terlihat dari tiga arus besar yang dilawannya.

Cetakan pertama novel setebal 393 halaman ini adalah awal tahun 2019, bertepatan dengan tahun politik Pemilihan Presiden (PiIpres). Ini adalah arus pertama yang dilawannya.

Beberapa tahun lalu para pendukung Orde Baru sudah berupaya keras membersihkan dosa Suharto melalui "Enak jamanku tho." Di tahun politik ini upaya mereka lebih terang-terangan.

Dikatakan di segala kesempatan oleh anak-anak Suharto beserta pendukung Orde Baru dan orang-orang di lingkarannya, bahwa reformasi telah gagal. Menurut mereka, satu-satunya jalan agar bangsa Indonesia makmur lagi adalah, "Orde Baru kembali berkuasa guna menerapkan prinsif pembangunan ala Suharto."

Cara mengembalikan Orde Baru ke panggung kekuasaan adalah dengan meminta rakyat Indonesia memenangkan calon Presiden (Capres) yang mereka anggap sebagai personifikasi Orde Baru Suharto.

Meski Lelaki Di Tengah Hujan tak dimaksudkan untuk menghantam Capres mereka -- karena naskahnya telah ditulis sejak tahun 1999, dan dijadikan skripsi meraih gelar sarjana oleh penulisnya di Universitas Bung Karno -- tetapi karena novel ini diterbitkan di tahun politik Pilpres, akan mengusik arus politik yang digulirkan para Suhartois. Implikasinya Capres yang mereka usung dapat saja terjungkal. Sebab, isi novel Henri Wanhar, adalah cerita perjuangan aktivis mahasiswa melawan Orde Baru Suharto yang kejam dan korup.

Arus kedua yang dihadapi novel yang berangkat dari kisah nyata aktivis mahasiswa era 90-an, adalah arus kekinian. Novel yang sekarang laris manis di pasaran adalah yang menceritakan remaja pacaran naik motor. Novel asmara yang memuat kata-kata bijak penyemangat jomblo patah hati, serta novel  yang menuturkan perjalanan cinta sepasang kekasih yang jumpa pertama saat kuliah di luar negeri.

Aroma Lelaki Di Tengah Hujan tak seringan itu. Namun novel ini percaya diri menyeruak di tengah-tengah novel kekinian. Tampil sebagai bacaan yang pantas dilirik karena menyodorkan cita rasa berbeda, sekaligus lebih heroik dibanding perjuangan memikat lawan jenis yang sejatinya dialami semua orang di dunia.

Berikutnya yang dilawan Lelaki Di Tengah Hujan adalah arus sejarah. Hingga hari ini publik hanya paham gerakan reformasilah yang menumbangkan Suharto. Pola pikir ini dikuatkan pula oleh para pelaku reformasi yang melekatkan brand image "aktivis 98" kepada dirinya.

Reformasi bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri dan muncul tiba-tiba. Gerakan ini adalah puncak dari rentetan peristiwa sebelumnya. Peristiwa pra reformasi justru lebih mematikan karena bermaksud menurunkan Suharto yang power full. Upaya tiada henti para aktivis pra reformasi, membuat kekuatan Suharto perlahan-lahan melemah dan kemudian menjadi musuh bersama rakyat Indonesia.

Suharto akhirnya tumbang dari kekuasan yang dipegangnya selama 32 tahun. Peristiwa inilah yang disebut gerakan reformasi. Para pelakunya jadi ngetop. Beberapa pesohor itu lantas memanfaat reputasinya yang "berani melawan Suharto" sebagai modal bertarung di arena politik praktis masa kini. Mereka juga kerap tampil sebagai narasumber utama acara debat di televisi yang membahas reformasi.  

Perjuangan segelintir aktivis mahasiswa pra reformasi, memang tak banyak diketahui publik  karena memang minim informasi tentang mereka. Bahkan mayoritas "aktivis 98" malah tak tahu jika perjuangan mereka melawan Suharto yang diujung tanduk, akan tampak "biasa saja" bila dibandingkan dengan militansi, kecerdasan dan kecerdikan aktivis mahasiswa pra reformasi melawan Suharto.


 ***

BUJANG PAREWA, demikian nama tokoh utama novel yang berangkat dari kisah nyata aktivis mahasiswa pra reformasi yang berani melawan Suharto. Bujang Parewa adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Walau pun almamaternya kerap dijuluki kampus Orde Baru, Bujang Parewa justru revolusioner, dan ini bertentangan dengan garis Orde Baru yang mengharuskan semuanya terkendali di genggaman Suharto.

Kendati revolusioner, mahasiswa kelahiran Magelang itu tak gegabah. Ia paham, untuk melawan Suharto yang didukung terutama oleh ABRI dan Golkar, akan kurang maksimal jika cuma mengandalkan kekuatan dirinya bersama segelintir aktifis mahasiswa di Solo dan Yogyakarta. Harus mengajak mahasiswa lain, buruh, rakyat, dan pihak-pihak yang sejalan.

Mengajak mereka melawan Suharto bukan pekerjaan mudah. Butuh pendekatan yang tidak sebentar. Kekuasaan Suharto begitu kuat mencengkeram bumi pertiwi. Semua orang tahu, melawan pencipta Orde Baru itu taruhannya nyawa, atau dijebloskan ke penjara dengan tuduhan makar. Resiko paling ringan digebuki polisi dan tentara.

Dihadapkan pada resiko yang mengerikan, justru mendorong Bujang Parewa dan teman-temannya sesama aktifis mahasiswa kian cerdas, cerdik, dan tambah militan. Targetnya pun tak main-main :  menumbangkan Suharto.

Bentuk perjuangan mereka juga tambah berwarna. Walau pun aksi mahasiswa tetap menjadi gerakan andalan mereka, pada saat yang sama mereka memaksimalkan pula peran pers mahasiswa sebagai kawah pengkaderan dan media informasi untuk menghadapi Suharto melalui tulisan.

Selanjutnya membentuk kelompok diskusi mahasiswa antar kampus untuk membangun kepedulian terhadap rakyat korban Orde Baru. Mengorganisir rakyat yang tanahnya digusur. Serta bergaul akrab dengan buruh pabrik guna menyadarkan mereka tentang hak-hak buruh yang dirampas pemilik modal yang dilindungi pejabat negara.

Gerakan senyap Bujang Parewa dan teman-temannya membuahkan hasil. Sejumlah mahasiswa dan rakyat dari sekian latar belakang mulai sadar bahwa, penindasan dan kemiskinan yang membelenggu mereka merupakan efek langsung dari kebijakan dan gaya kepemimpinan Suharto yang tidak demokratis, kejam, dan hanya menguntungkan para pengikut Suharto. Kesadaran itu menumbuhkan keberanian melawan Suharto. Ada yang mereflesikan keberaniannya dengan demostrasi, melalui pertunjukan teater dan masih banyak lagi.

Suharto tahu mahasiswa dan rakyat mulai bergejolak. Untuk meresponnya, Suharto bukan mengeluarkan kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperbaiki demokrasi. Suharto justru melakukan segala tindakan untuk meredam aksi-aksi rakyat dan mahasiswa. Suharto tak peduli walau pun tindakannya melanggar HAM.

Keberingasan Suharto memunculkan sudut pandang baru di benak Bujang Parewa dan teman-teman seperjuangannya. Untuk menghadapi Suharto, tak cukup dengan aksi-aksi di daerah. Mereka harus membangun gerakan tersentral bersifat nasional yang didukung petani, buruh, nelayan, rakyat miskin, seniman, dan elemen mahasiswa di berbagai kota di tanah air.

Bujang Parewa dan teman-teman lalu mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) beserta sejumlah organisasi di bawahnya. Di mata Suharto dan pendukungnya, kehadiran PRD merupakan pelanggaran tak termaafkan. Sesuai peraturan, hanya Golkar, PPP dan PDI yang boleh ada. Haram muncul Parpol lain.

Sejak saat itulah, segala peristiwa politik di tanah air, selalu dikaitkan-kaitkan dengan PRD. Mereka dituduh dalang kerusuhan, subversif, dan dicap PKI. Parewa dan teman-temannya, diburu aparat keamanaan.

Di persembunyian, Bujang Parewa dan teman-temannya, masih berjuang. Selain melancarkan gerakan bawah tanah untuk menumbangkan Suharto, mereka juga menyiapkan puluhan bom yang hendak diledakan di pusat kekuasaan. Tapi naas, bom itu malah meledak di markas mereka. Meledak sebelum waktunya. Meledak sebelum diledakan.

Markas mereka di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, berantakan. Bujang Parewa tertangkap. Setelah diamuk massa, ia disiksa aparat, lalu dijebloskan ke penjara dan mendapat siksaan yang lebih pedih.

Beberapa waktu kemudian, teman Bujang Parewa ada yang tertangkap dan juga disiksa. Namun semangat juang Bujang Parewa dan para sohibnya tak pernah padam. Di penjara, para aktifis mahasisawa itu berteman dengan napi-napi kasus kriminal, lalu memberikan pendidikan politik  untuk mereka.

Di luar penjara, teman-teman Bujang Parewa yang tak tertangkap, terus bergerak. Aksi mahasiswa tambah meluas dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh nasional. Suharto akhirnya lengser. Sejarah kemudian mencatat peristiwa ini sebagai reformasi.

Tumbangnya Suharto disambut gegap gempita oleh segenap rakyat Indonesia, dan bahkan dunia Internasional. Orde Baru telah terkubur. Digantikan Orde Reformasi yang lebih menjanjikan masa depan. Para pelalu reformasi dielu-elukan karena dianggap berjasa besar.

Masih di suasana eforia reformasi, dalam sebuah persidangan di bulan November 1998, Bujang Parewa divonis bebas. Menyusul temannya yang lebih dulu dibebaskan. Malamnya para tahanan menggelar acara perpisahan untuknya. Pagi harinya Bujang Parewa keluar dari penjara. Semua tahanan berkumpul di lorong-lorong dan berteriak, "Selamat jalan tahanan politik terakhir!"

Di luar penjara, ternyata tak seorang pun menyambutnya. Tak ada sorotan kamera wartawan. Hanya hujan lebat yang menyongsong kebebasannya. Bujang Parewa tak hendak berteduh. Ia terus melangkah dalam dekapan hujan.


***

LELAKI DI TENGAH HUJAN memang novel yang menarik. Kita disodorinya pelajaran tentang setia kawan, setia pada cita-cita perjuangan, konsistensi untuk meraihnya, dan pelajaran berharga lainnya tanpa kita merasa digurui. Penyajian cerita melalui bahasa yang mudah dipahami, juga menjadi kekuatan yang menambah bobot novel ini.

Latar belakang kisah yang terjadi pada tahun 1990-an juga memahamkan kita tentang situasi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia kala itu. Kita juga jadi tahu, ternyata Bujang Parewa dan teman-temannya adalah yang pertama kali meneriakan Megawati for President. Bukan orang-orang PDIP. Bujang Parewa dkk juga memberi andil signifikan bagi terbentuknya PDIP. Bahkan Megawati pernah mendapat PRD Award. Semua ini tentu pengetahuan baru bagi kita karena PDIP sekarang merupakan Parpol terbesar di Indonesia.

Bila cita-cita perjuangan Bujang Parewa dan teman-temannya kita lihat dari situasi saat ini, akan jelas terlihat cita-cita mereka berhasil. Saat ini buruh, petani, nelayan dan wartawan, boleh mendirikan organisasi di luar organisasi yang dulu diciptakan Orde Baru. Fraksi TNI tak ada lagi di DPR, dan TNI tak boleh menduduki jabatan sipil.

Melalui perjuangan Bujang Parewa dan teman-temannya pula, sekarang siapa pun boleh mendirikan Parpol. Indonesia yang dulu sentralistik, sekarang menganut otonomi daerah. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi dipilih MPR. Masa jabatan Presiden sudah dibatasi. Kini pers memiliki kebebasan yang dijamin UU, dan breidel pers tak ada lagi. Rakyat boleh mengkritik pemerintah, dan tak bakal diancam pasal menggulingkan pemerintah.

Lantaran keberhasilan itulah, maka akan tampak nyata, era Bujang Parewa dan teman-temannya dengan era anak milenial sekarang, sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Ini dapat dianalogikan : jika dulu Presiden Suharto gemar menuduh rakyat yang berani melawannya sebagai PKI, hari ini justru rakyat yang berani menuduh Presiden Jokowi sebagai PKI. (Dua tuduhan yang sama-sama hoax).

Perbedaan situasi itu, juga memungkinkan tak akan pernah ada lagi sosok seperti Bujang Parewa dan teman-temannya. Inilah kenapa novel ini pantas difilmkan. Agar bangsa ini tahu ada peristiwa mengagumkan yang tak pernah dicatat sejarah. Tetapi bangsa ini dapat mengadopsi semangat juang pelakunya dan mewarisi keberanian mereka melawan arus jaman. (Ahyar Stone)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun