Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sepenggal Kisah dari Sekolah Kaki Rinjani

5 September 2015   12:29 Diperbarui: 20 Oktober 2015   00:29 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sekolah Kaki Rinjani (Foto, Fathulrahman"][/caption]

Anda boleh tidak percaya, tetapi ini fakta nyata. Di kaki gunung Rinjani, persisnya di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, ada kampung bernama Semokan Ruak. Sampai beberapa tahun lalu, hampir tak ada satupun anak di kampung itu yang tamat sekolah dasar. Bahkan orang dewasanya pun amat sangat jarang yang mengenyam pendidikan memadai.

Nuliangsi, kepala kampung di sana, boleh jadi adalah satu-satunya orang dewasa yang bersekolah hingga tamat SMP. Kemiskinan sudah pasti menjadi alasan utama mengapa anakanak di sana putus sekolah. Alasan lainnya soal akses sekolah yang jauh dan transportasi yang sulit dan terbatas. Untuk mencapai SD terdekat mereka harus menerabas hutan, melewati sungai dan berjalan kaki melewati lembah dan bukit.

Keadaan memang sulit di Semokan Ruak. Tetapi warga di sana tak mau menyerah. Pada Oktober 2012, mereka membangun sekolah dasar “darurat” di dusunnya. Dikatakan darurat karena

menumpang di sebuah berugak milik warga. Ketika dibuka, Nuliangsi sebagai kepala kampung dan Musmuliadi sebagai satusatunya guru SD darurat itu harus mencari dan membujuk calon siswanya. 36 anak usia SD atas ijin orangtuanya bersedia menjadi murid pertama. “Ada yang dulu pernah sekolah sampai kelas tiga SD, kita ajak bersekolah lagi,'' kata Musmuliadi.

SD darurat itu menumbuhkan semangat anak-anak di Semokan Ruak untuk bersekolah. Pemerintah pun memberi status SD “darurat” itu sebagai SD persiapan dan berinduk kepada SD

Negeri 4 Sukadana yang terdekat dari Semokan Ruak. Selain tak punya gedung, anak-anak yang bersekolah di SD persiapan Semokan Ruak juga tak punya seragam. Alat belajar mengajar pun sangat minim. 

Ringkas kata, yang mereka punya hanya keinginan untuk bersekolah. Nuliangsi dan Musmuliadi sebagai guru tak berani menarik sumbangan apapun dari orangtua murid. Bisa-bisa para orangtua itu akan menarik anaknya lantaran merasa sekolah sebagai beban berat. “Saya benar-benar khawatir saat itu. Janganjangan sekolah ini akan segera tutup,” kenang Musmulyadi.

Semua anak di sekolah itu di data oleh SD induknya. Pada 2013 mereka menerima BSM pertama kalinya. Langsung digunakan membeli seragam sekolah dan perlengkapan belajar. Para siswa tampak gembira dan orangtua merasa lega. Sekolah pun mulai bisa berjalan dengan lebih baik. Anak-anak kampung makin banyak yang masuk sekolah, sekalipun gedung untuk belajar masih belum lagi mereka miliki.

Dari kaki Rinjani kita temukan satu kisah, betapa berartinya BSM anak-anak di kampung pedalaman yang jauh dari akses pendidikan. Semokan Ruak, sebuah kampung yang tadinya penuh sesak dengan anak-anak putus sekolah, kini berubahmenjadi kampung di mana anak-anaknya bersekolah dengan Senyum lepas dan tawa riang.

Bogor, 5 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun