“Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “. (QS Al-Baraqah [1]:  183).
Pada bulan suci Ramadhan ini, silaturrahmi antar kelompok masyarakat berjalan simulan dan alami. Tradisi silaturrahmi pun dilakukan dengan para pendahulu yang sudah meninggal dunia melalui ziarah ke makam mereka. Makna puasa memiliki makna yang amat relevan.
Di tengah ancaman intoleransi, baik dalam hubungan antara agama, bulan puasa sejatinya mampu mendinginkan jiwa yang berkobar akibat dari ambisi tertentu. Tidak pada tempatnya jika kesadaran keberagaman digunakan sebagai langkah konfik, dan kebencian.
Tradisi puasa sejak awal diperintahkan Tuhan, telah mengi-syaratkan tentang pentingnya menjadikan puasa sebagai titik temu, sebagai bagian dari keberagaman tersebut. Puasa tidak hannya diwajibkan bagi umat Islam, tetapi juga pada umat lainnya. Menurut Al-Zamakhsyari puasa merupakan tradisi umat terdahulu sejak nabi Adam AS.
Bahkan seluruh umat terdahulu juga melaksanakan puasa dengan tujuan untuk memupuk takwa dan keimanan mereka. Dan Islam dengan ajaran puasanya bertujuan melanjutkan misi profetik agama-agama sebelumnya.
Misi profertik seperti ini yang harus mampu menggugah kesadaran kolektif dalam berbangsa dan bernegara. Puasa menjadi jembatan emas untuk mendekatkan perasaan, akal pikiran dan nuranai kita bahwa pada hakikatnya tiap agama mempunyai tujuan yang sama, yakni sebagai penyebar kebajikan dan rahmat bagi semua umat di dunia. Karena itu puasa sebagai pesan teks yang harus digali terus-menerus agar makna mampu termanifestasikan dalam realitas kehidupan kita.
Menurut Khaled Abou El-Fadl (2005), semua pesan dalam teks keagamaan pada hakikatnya terkait subyektifitas etika dan komitmen pembacanya, bukan hannya itu, pembacaan juga bergantung pada metode yang digunakan pembaca teks itu. Maka, memaknai puasa sejatinya tidak hannya dalam konteks pembebasan individual yang dikenal sebagai rutinitas dan ritualitas belaka sebagaimana berlaku umumnya, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan berbagai masalah sosial kemasyarakatan.
Momentum Perdamaian
Perdamaian bukan suatu hal yang baru dalam tradisi agama. Perdamaian merupakan ajaran yang inheren dalam tiap agama, khususnya Islam. Artinya, tanpa spirit perdamaian sebenarnya ada sesuatu yang hilang dalam agama. Islam berasal dari kata al-salam yang berarti perdamaian dan keselamatan.
Istimewanya, perdamaian bukan hannya sekedar doktrin, tetapi juga menjadi khazanah yang membanggakan. Perang dan konflik tak bisa dinafikan tersimpan dalam setiap sejarah agama-agama, tetapi juga perdamaian juga menjadi khazanah yang tak bisa diabaikan, begitu saja.
Sebab alasan utama adalah, tanpa perdamaian tata kehidupan manusia tak bisa abadi. Bagir Muhammad Al-Hakim mengatakan, tak ada kebajikan yang dapat dicapai melalui kehidupan berdampingan antara satu agama dengan agama lainnya. Meskipun demikian, satu hal yang tak bisa dipungkiri, adalah perdamaian mulai hilang dalam radar peradaban kemanusian.