[caption id="attachment_345155" align="alignleft" width="440" caption="Foto Ahyar (Suasana di Kelompok Beriuk Melet)"][/caption]
Di tengah kerumunan sapi di kandang kolektif milik kelompok tani ternak Beriuk Melet, seorang anggota kelompok bercerita: “Sejak tiga puluh tahun yang lalu, saya mencari nafkah dengan beternak sapi dan bertani. Saya memang tidak punya lahan, juga tidak punya sapi.
Tapi saya ngadas sepasang ekor sapi dan menggarap 15 are lahan milik orang lain. Dari situlah saya menghidupi keluarga, dan menyekolahkan anak-anak,” kata Lukman mengenang perjalanan hidupnya. “Namanya juga ngadas, ya saya memelihara sapi milik orang lain. Pemilik hanya menyerahkan sapi, itu saja.
Sarana untuk beternak sapi seperti kandang, sabit, regang, jadi tanggungan saya. Kalau mau menjual harus seijin pemilik. Biasanya pemilik tidak mau menjual sapinya sebelum genap setahun saya pelihara, meskipun saya sebenarnya sedang butuh uang untuk sekolah anak-anak saya.
Apalagi kalau harga sedang rendah, pemilik pasti tak mau menjual sapinya.” Di saat-saat seperti itu, Lukman terpaksa berhutang. Dia sebenarnya merasa terjepit dengan sistem kadasan, tapi tak bisa mengelak karena dia sendiri tak mampu membeli sapi. “Nah, sejak ada bantuan pemerintah ini, saya merasa jauh berbeda. Kandang diperbaiki dengan dana pemerintah, bibit sapi tidak perlu saya beli.
Tinggal saya memeliharanya dengan baik. Sampai sekarang saya sudah menjual tiga kali untuk bayar kuliah anak saya. Kalau saja bantuan ini tidak ada, barangkali saya tidak berani menguliahkan anak saya,” katanya bangga. Kini sudah 1,5 tahun bantuan BSS turun, dia mendapat jatah 3 ekor sapi.
[caption id="attachment_345156" align="alignleft" width="499" caption="Foto Ahyar (Kelompok Sapi Beriuk Melet)"]
Hasil beternak sapi ia niatkan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Kebutuhan sehari-hari dipenuhinya dari hasil bertani. “Saya tidak akan jual sapi kalau bukan untuk bayar sekolah anak-anak saya. Untuk kebutuhan sehari-hari bisa saya penuhi dari bertani. Sampai sekarang sudah tiga kali saya menjual sapi, saat anak saya masuk kuliah dan saat bayar SPP,” ujarnya.
Anaknya sulungnya kini sedang duduk di semester tiga Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Yang kedua di SMA, yang ketiga masih SMP. Dan yang bungsu belum masuk sekolah. Ia mengaku sangat terbantu dengan sistem pembagian hasil dalam kelompoknya. “Kalau dulu, hanya dapat setengahnya, sekarang saya bisa dapat 60 persen. Dulu harus menunggu kapan pemilik mau menjual sapinya.
Sekarang saya bisa jual kapan saja anak saya butuh uang sekolah,” katanya mengingat-ingat perbedaan sebelum dan setelah mendapat bantuan sapi. Pria 50 tahun itu merasa longgar, tidak seperti dulu yang selalu merasa terjepit.
“Saya punya harta sedikit saja. Lebih baik saya simpan sebagai ilmu. Kalau dalam bentuk harta bisa jadi mudharat karena diperebutkan. Kalau berupa ilmu pasti bermanfaat.” Lukman mengakhiri pembicaraan dengan memaparkan prinsipnya. (Ahyar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H