Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka Para Sarjana Sapi

26 Agustus 2015   08:10 Diperbarui: 20 Oktober 2015   00:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka tinggal di belahan bukit dan di desa yang sunyi. Prestasi mereka kadang tidak terungkap dan ikut sunyi meskipun di antara mereka ada yang meraih penghargaan dari pemerintah. Selama ini, ternak sapi telah mengangkat kehidupan mereka dari ketiadaan menjadi berada. Dengan sapi meraih meraih mimpi bersama keluarga dan masyarakat temmpat dimana mereka tinggal.   

Sri Astuti punya keterbatasan fisik sejak kecil. Di usia 8 tahun ia terserang folio dan berdampak hingga hingga kini. Tetapi di usianya yang belum lagi 35 tahun, sarjana peternakan lulusan Universitas Mataram (Unram) tersebut telah bergelut panjang dengan budidaya sapi dan menorehkan prestasi yang layak dibanggakan. Sejak 2006 ia mengolah lahan tidur yang dimiliki keluarga besarnya di Desa Batu Putih, Taliwang, Sumbawa Barat.

Lahan seluas lima hektar dijadikannya areal peternakan Sapi Bali dengan mengajak pemuda desa. Dua tahun kemudian, Astuti memperoleh penghargaan Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan Berprestasi Nasional Bidang Usaha Kewirausahaan Pemuda dari Menteri Pemuda dan Olahraga.

Awal 2009, Astuti lulus seleksi sarjana membangun desa (SMD) Ia bahkan menjadi lulus terbaik dari 600 SMD seluruh Indonesia yang lulus satu angkatan dengannya. Kelompok Tani Ternak Neng Le Laki di desa Bau Putih, Taliwang, menjadi dampingannya. Sekali lagi Astuti menunjukkan tangan dinginnya, kinerja kelompok binaannya menonjol. Bantuan stimulus dana sebesar 300 juta yang diberikan pemerintah NTB melalui program NTB BSS pada akhir 2009, berhasil dikelola dengan baik.

Neng Le Laki berkembang menjadi dua kelompok dengan jumlah anggota 25 orang. Kelompok Neng Le Laki juga punya Koperasi Serba Usaha (KSU) yang menyangga kebutuhan sehari-hari anggota. Ada pula unit usaha pengolahan pupuk organik yang memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian. “Menjadi SMD bagi saya merupakan tantangan tersendiri. Saya dan para anggota kelompok harus terus berfikir bagaimana bertahan dan mengembangkan kelompok menjadi lebih maju. Etos dan kreativitas terasa diasah betul di sini,” terang Astuti.

Astuti tidak sendiri, di Desa Batu Tulis, Kecamatan Jonggat Lombok Tengah ada kelompok tani ternak Tunas Ridho. Erwin Hadinata menjadi SMD di kelompok tersebut. Pada akhir 2009, Tunas Ridho mendapat kunjungan dari Bayu Krisnamurti, Wakil Menteri Pertanian RI. Kelompok ini menonjol dalam hal membangun dan memperkuat kelembagaan. Di sana berlaku pembagian tugas yang jelas, diterapkan pula awiq-awiq yang mengikat semua anggota.

Misalnya tentang aturan ronda, gotong royong, dan pengaturan keuntungan hasil penjualan sapi. Tunas Ridho juga sedang mengembangkan pabrik pakan mini bekerjasama dengan pihak swasta. Pabrik mini ini nantinya akan menjadi unit usaha tersendiri, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak di kelompok. Tunas Ridho memelihara sekitar 40 ekor sapi. Bisnis utama mereka pengemukan dengan masa pemeliharan 4-6 bulan. Astuti dan Erwin bagian dari ratusan SMD yang tersebar di seluruh wilayah NTB. Para SMD tersebut bukan PNS. 

Mereka tidak menerima gaji bulanan. Pada tahun pertama, mereka menerima insentif yang dialokasikan dalam dana stimulus yang pemerintah berikan.

“Insentif yang menjadi hak saya, setengahnya saya tanamkan kembali sebagai saham dalam kelompok,” terang Erwin. Memasuki tahun ke dua dan berikutnya, para SMD tersebut membiayai dirinya sendiri dari hasil keuntungan usaha kelompok dampingannya.

Ratusan SMD tersebut bisa disebut sebagai pioner pengerak wirausaha di sector peternakan. Di tangan para SMD ini tak kurang 5-6 ribu ekor sapi dikelola. Tentu saja menjadi pioner tidaklah mudah. Kegagalan kelompok bisa dengan mudah dicap sebagai ketidakmampuan para SMD. Sebaliknya keberhasilan kelompok, tidak selalu lekas dilekatkan kepada SMD. Astuti, Erwin dan ratusan rekannya setidaknya telah membuktikan. Menjadi pioner wirausaha peternakan adalah tugas mulia yang penuh tantangan.

Bogor, 27 Agustus 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun