[caption id="attachment_341682" align="aligncenter" width="448" caption="Hasil biji kopi "][/caption]
Rumah di dusun Batu Mekar itu, tak ubahnya warung. Puluhan sandal dan sepaptu berserakan di teras. Di halaman selebar lapangan buku tangkis, satu mobil dan puluhan sepeda motor diparkir sembarangan. Ruangan utama rumah itu juga disesaki ratusan plastik. Sejumlah ibu usia baya duduk di meja mereka masing-masing.
Di rumah besar itulah bersarang kopi Mule Paice asli Lombok yang belakangan ini menarik perhatian. Bukan hal yang aneh jika melihat ada pejabat negara berkunjung ke usaha kopi “Mule Paice” ini. Sejak tahun 2001, kopi Mule Paice memang kerap dikunjungi orang penting, termasuk Dinas perkebunan, Gubernur Jawa Barat bersama istri, bahkan perusahaan kopi terbesar dari Autralia.
Mereka mendatangi Batu Mekar. Semua itu berkat kegigihannya selama 20 tahun melestarikan kelompok kopi Mule Paici. Usaha kelompok kopi Mule Paice yang dijalani Tirtawan lelaki berusia 52 tahun ini sudah berdiri. Berawal dari peninggalan tanah dari orangtuanya, Tirtawan rela berhenti sekolah demi membantu pekerjaan orangtuanya. Karena saat itu orangtuanya bahwa sekolah tidak terlalu penting.
Maka, Tirtawan pun tak ada pilihan lain. Meski begitu, Tirtawan mendapat kesempatan belajar macam usaha, dari penjual singkong, hingga memilik keliahaian dalam mengolah kopi menjadi dikenal di hotel kelas berbintang di NTB. Dengan kelompok kopi Mule Paice mendorong Tirtawan berkreasi dan bisa meraup untung. Berbekal pengalamannya itulah Tirtawan kemudian mulai berpikir untuk membuat pengolahan kopi bubuk kemasan.
Pada tahun 16 November 2005 keinginan tersebut terwujud. Ia mendirikan usaha kopi Lombok yang diambil dari nama pulau Lombok. Modal awal ia miliki ketika itu hannyalah kebun kopi dan 18 anggota kelompok petani di Batu Mekar. Dengan kopi Lombok kemasan tersebut kemudian dipasarkan melalui mulut ke mulut sampai menempus hotel berbintang.
Pemilik Kopi Lombok Pertama
Ya, bersama 18 anggota kelompoknya, Tirtawan membesarkan usaha pemasarnnya kopinya, awalnya melalui berkebun kopi sekitar Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Selain mengolah kopi, ia juga mengolah kopi dalam bentuk kemasan. Pesanan demi pesanan ia penuhi, hingga pada akhirnya ia memasarkan kopi cap Lombok ke luar kota seperti, Jakarta, Malang, Surabaya, hingga ke Mancanegara Australia. Di NTB, Tirtawan menetapkan titik penjualan dari rumahnya, karena menurutnya permintaan kopi Lombok cukup tinggi.
[caption id="attachment_341683" align="aligncenter" width="299" caption="Tirta pemilik kopi Mule Paice (foto, Ahyar)"]
Benar saja, tak butuh waktu lama untuk mempromosikan kopinya dari mulut ke mulut. Sejak itulah jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun terus mengalami peningkatan. Seiring berjalanya waktu Tirtawan dan anggotanya mendapat bantuan berupa mesin pengolahan kopi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Dinas Perkebunan Provinsi NTB, mulai dari sinilah ia melakukan pengemasan kopi gelondongan menjadi kopi kemasan.
Benar saja, tak butuh waktu lama, Tirtawan pun mengirimkan kopi kemasannya ke para warung kali lima yang ada di Kecamatan Lingsar sekali seminggu. Sejak jaringan pemasaran terbuka, permintaan pun terus meningkat. “Dulu, di desa Batu Mekar belum ada banyak menanam kopi, yang ada hannya Singkong. Sementara saya yang mengenal kopi sejak tahun 50-an, merasa bahwa kopi bisa menjadi usaha menjanjkan di daerah sini,” kenang Tirtawan tentang awal merintis usaha kopinya.
Dengan bahan baku yang terbilang murah, yakni kopi dibeli lansung dari kebun milik tetangganya Rp 22 ribu per kilo dalam bentuk gelondongan. Jika dalam bentuk kemasan ia mmenjual Rp 20 ribu. Ternyata membuat kelompok usaha kopi adalah keputusan yang tepat. Kelopok Mule Paice-nya tidak hannya dikunjungi pembeli lokal, tetapi juga diminati pengusaha kopi dari Australia.
Pada awal usahanya ia mengirim kopi ke Jakarta dengan omzet 4-5 juta per bulan. Hingga saat ini, hubungan kopi Mule Paice dengan perusahaan dari Austrlia tersebut berlanjut.
Pameran Ayo Saja!
Sebagai pengusaha kopi, salah satu cara itu memasarkan produknya adalah dengan mengikuti pameran. “Saya ikut berbagai pameran. Awalnya ada penawaran untuk mengikuti pameran dari Kementerian Koperasi. Dari situ banyak konsumen bertanya kapan ada pameran lagi?” kenangnya ketika menjelaskan pameran yang sempat diikuti di Malang . Terlebih lagi, kelompok Mule Paice mendapatkan bantuan peralatan pengolahan kopi dari Dinas Perkebunan Provinsi NTB
[caption id="attachment_341684" align="aligncenter" width="448" caption="Pohon kopi Mule Paice (foto, Ahyar)"]
Saat pameran di Surabaya ada pembeli yang memborong dagangnya saya sejumlah 10 juta. Sedangkan pelanggan saya terjauh dari Peranci” tutur Tirtawan. Selama beberapa kali mengikuti pameran, Tirtawan menyimpulkan bahwa kegiatan ini terbukti manjur untuk mendapatkan order jangka panjang dan meningkatkan omzet penjualan kopinya.
Pesanan yang datang dari pameran terkadang membuatnya kewalahan. Selain peralatan untuk mesin pengolahan, modal yang terbatas juga jadi masalah, namun berkat bantuan dari Dinas Perkebunan Provinsi jadi semua itu terasa terbantu. Tirtawan pun tidak pernah tinggal diam. Ia mengirimkan sms kepada semua pelangganya yang berada di Jakarta, Surabaya, dan Malang bahwa kopinya selalu tersedia.
Kesetiaan konsumen juga dicoba diraih melalui inovasi produk kopi secara berkelanjutan. Tirtawan berupaya menciptakan model pemasaran kopi yang lebih variatif dengan mengunakan desain warna yang digemari, seperti kopi hitam berwarna ke merah-merahan. Hal ini diketahuinya berdasarkan permintaan yang terus-mmenerus. Hasilnya, pelanggan menyukai inovasi tersebut. Hal ini memacu Tirtawan untuk terus berinovasi dan berjuang mengembangkan usahanya.
Mengenai teknologi, Tirtawan merasa tidak begitu memerlukannya. Segalanya dilakukan dengan manual, termasuk pencattatan keuangan. Kalau pun mengunakan teknologi paling-paling sebatas memiliki akaun Facebook kopi Lombok sebagai sarana promoosi. “Akaun tersebut dikelola oleh anaknya, karena Tirtawan tidak begitu mengerti sosial network.
“Saya lebih mahir mengatur masalah pameran dibandingkan jika mengurus teknologi,” ungkkapnya dengan jujur. Namun demikian ppameran tak selalu bebuah manis. Ada masanya pameran yang diikuti Tirtawan malah membuatnya rugi karena sepi pengunjung.
[caption id="attachment_341688" align="aligncenter" width="448" caption="Ahyar bersama Tirta pemilik kopi "]
Kalau sudah begini, Tirtawan akan meminta bantuan dinas perkebunan dan dinas Koperasi Provinsi. Menurut Tirtawan kedua Dinas tersebut sangat berperan besar dalam membantu mengembangkan usahanya hingga sekarang ini. Yang jelas, masa sulit pun tidak akan membuatnya terpuruk. Dia memilih akan segera bangkit. Saat ini, Tirtawan memusatkan perhatian pada membuka ruko di Mataram.
Selain itu kualitas harus tetap menjadi nomor satu. Sebab dari pengalaman mengikuti pameran, banyak pelanggan yang menayakan kopi Lombok terus. Selama ini, rencana tersebut masih terbentur harga sewa kios yang cukup tinggi di Mataram. “Pendapatnya akan bagus ada kios khusus di Mataram. Sesekali masih mengikuti pameran diluar kota. Tapi keinginan saya untuk membuka kios rumah kopi lagi sangat tinggi. Insya Allah kalau ada rezekinya,” ujarnya dengan optimis.
By; Ahyar, kunjunggi www. ahyarrosi.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H