Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jejak Kerajaan Pajajaran di Kampung Sindang Barang

6 Februari 2017   16:11 Diperbarui: 17 Februari 2017   09:54 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Budaya Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini merupakan salah satu wilayah dengan latar belakang kebudayaan sunda yang kental, dan sejak pada tahun 2007 mulai menjadikan wilayahnya sebagai kawasan pariwisata budaya.

Kampung Budaya Sindang Barang mewarisi tradisi Kerajaan Sunda Galuh di kawasan Jawa Barat yang sempat eksis sejak abad ke-11 sampai dengan abad ke-16, dengan ibu kota kerajaan adalah Pakuan Pajajaran (atau sekitar kawasan Kota dan Kabupaten Bogor saat ini).

Arti Sindang Barang sendiri terdiri dari dua kata, yakni Sindang artinya berhenti atau pergi, sedangkan Barang berarti segala urusan, jika digabungkan maka Sindang Barang memiliki arti pergi dari segala urusan (khususnya yang bersifat duniawi). Namun, karena berbagai dinamika dan memudarnya budaya di sana, pada tahun 1960-an seorang kepala desa yang juga merupakan salah satu sesepuh adat Sunda bernama Aki Lurah Etong meneruskan tradisi sunda berupa Upacara Serentaun dan beberapa kesenian sunda di kawasan utara Kabupaten Cianjur, atau lebih tepatnya di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

Sejak saat itu, budaya sunda berupa penghormatan terhadap alam dan sistem pertanian berkembang secara masif. Meninggalnya Aki Lurah Etong pada tahun 1972, sempat mengubah keberlanjutan sistem budaya sunda di Kecamatan Tamansari, khususnya terkait dengan pelaksanaan Upacara Serentaun yang tidak lagi komperhensif pada rentang waktu 1972 sampai dengan awal tahun 2000-an.

Pada rentang waktu tersebut, budaya sunda lebih diposisikan sebagai simbol atas penghormatan terhadap sesepuh dan leluhur. Keberadaan upacara Serentaun sebagai contohnya, selain dilakukan secara parsial karena tidak adanya kepemimpinan dan struktur adat yang mapan, pelaksanaannya juga disesuaikan dengan kompromi budaya masyarakat di kawasan Kecamatan Tamansari yang mayoritas beragama islam, sehingga sekaligus memunculkan gelombang sinkretisme antara budaya sunda dan agama Islam.

Sinkretisme tersebut salah satunya ditunjukkan dengan pengubahan beberapa tatacara pelaksanaan Upacara Serentaun, seperti yang pada awalnya dilakukan pembacaan mantra dan penguburan kepala kerbau pada saat,dihapuskan dan menjadi pembacaan ayat kitab suci (Al-Quran) dan pemanfaatan kepala kerbau untuk keperluan yang lain.

Memasuki awal abad ke-21, upaya mengembalikan trah budaya Sunda yang lebih sempurna dilakukan, salah satunya melalui pengembangan kesenian sunda (yang juga merupakan komponen integral dalam Upacara Serentaun) dengan pembentukan Sanggar Giri Sunda. Pengembangan Sanggar Giri Sunda dan ditambah dengan bantuan para donatur, pada akhirnya mampu mengembalikan pelaksanaan Upacara Serentaun yang konkrit, yang prosesinya dilalui dengan seni dan kebudayaan sunda (tarian, musik).

Pada tahun 2007, beberapa pihak yang terkait pelaksanaan Upacara Serentaun dan didorong oleh berbagai tokoh budaya sunda di Jawa Barat, sesepuh Sindang Barang hingga pemerintah, mulai mengembangkan wacana revitalisasi budaya sunda secara keseluruhan, termasuk rumah adat, leuit,hingga struktur adat.

Selama rentang tahun 2007 sampai dengan 2010, pengelolaan KBSB dilakukan hampir seluruhnya oleh pengurus adat, yang dipimpin oleh seorang Kepada Adat (Pupuhu). Pada dasarnya struktur adat di KBSB merujuk pada struktur adat yang memang telah eksis sejak masa lampau di tatar sunda, yang terdiri dari Pupuhuhingga sub-divisi terkecil seperti Hulun Tangkes.

Pada masa lampau, Pupuhu memiliki tanggung jawab utama untuk mengatur apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam masyarakatnya. Pupuhudalam arti yang pertama (karena memiliki kemampuan memimpin komunitas), diperoleh bukan karena proses pemilihan maupun pencalonan terlebih dahulu, melainkan lebih pada kesepakatan antar anggota adat dan musyawarah bersama.

Pupuhu di KBSB saat ini adalah cucu salah satu sesepuh adat sunda di kawasan Kecamatan Tamansari, sehingga ia memang masih memiliki “darah” keturunan adat sunda yang kental dan layak diposisikan sebagai pemimpin adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun