Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ijazah Itu Penting, Tapi Bukan Segala-galanya

22 Februari 2016   13:18 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Basirun Mahasiswa Pascasarja IPB di Perpustakaan (Foto, Ahyar ros)"][/caption]

Dua hari lalu tanggal 18 Februari 2016, saya terkesima membaca tulisan pak Tjiptadinata Efendi yang terpilh lansung menjadi headline (tulisan pilihan) oleh admin kompasiana. Tulisan tersebut berjudul "Bukan Ijazah yang Mengubah Nasib, melainkan Sikap Mental," Tulisan pak Tjiptadinata Efendi ini mengundang puluhan komentar yang bernada setuju dan sinis terhadap tulisan ini. Dalam satu sisi yang berbeda, saya cenderung setuju dengan tulisan ini, walaupun tidak sepenuhnya setuju 100% (seratus persen).

Ketika dalam posisi mahasiswa/dosen membaca tulisan ini, mungkin akan merasa terasa tersingung, bahkan merasa sinis. Begitu juga sebaliknya bagi mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, atau mereka yang tak sampai menyelesaikan kuliah alis Droup Out (DO).  

Apakah iya pendidikan itu adalah segala-galanya yang menjamin masa depan seseorang, atau justru sebaliknya pendidikan itu tidak penting?. Seperti petikan kata-kata, Jaja Miharja pada film, “Alangkah Lucunya Negeriku” yang menyingung muluk seorang lulusan sarjana manajemen di Universitas ternama, tapi dua tahun setelah wisuda, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Tulisan pak Tjiptadinata Efendi ini membuat jutaan sarjana yang masih mengharapkan pekerjaan untuk menyambung hidupnya dari sebuah selembar ijazah. Termasuk saya pribadi, dulu menyelesaikan sarjana S1, namun dalam urusan pekerjaan ijazah S1 saya tidak pernah terpakai untuk melamar pekerjaan. Ijazah jurusan Sarjana Hukum itu, hingga saat ini masih tersimpan rapi di lemari satu-satunya orangtua di kampung halaman (Sangupati, Sakra Barat, Lombok Timur, NTB).

Satu sisi tulisan pak Tjiptadinata Efendi membuat saya tersingung, tapi (tersingung positif), karena dari berbabagai pekerjaan dan kegiatan yang pernah saya geluti hingga bisa bertahan hidup di kota, tempat bekerja saya tak pernah mensyaratkan ijazah S1. Jika mensyaratkan ijazah bagaimana nasib saya waktu itu. Sebenarnya pekerjaan yang saya geluti sangat membutuhkan ijazah, tapi karena perteman baik, saya pun masuk tanpa syarat. Dalam urusan pekerjaan saya lebih banyak membangun sebuah hubungan persahabatan baik dengan berbagai orang, dan jaringan pertemanan.


Saya tidak bermaksud menafikan ijazah atau pendidikan itu tidak penting. Karena berkat ijazah S1 adalah syarat utama untuk bisa melamar beasiswa Lembaga Dana Penggelola Pendidikan (LPDP). Dan sampai pada kejadian buku rekening bank BNI, saya hilang. Selembar ijazah S1 itu telah meloloskan kesekian syarat untuk membuat rekening bank. Singkatnya karena ijazah itu, saya bisa menaklukkan pegawai customer service yang mensyaratkan kartu tanda pengenal lainnya, karena saya tak memiliki SIM, saya diminta ijazah S1. Aneh juga ya?  

Tapi saya tak ingin mejadikan ijazah itu adalah syarat utama dalam mengapai pekerjaan yang lebih baik daripada mereka yang tak memiliki selembar ijazah. Dalam berbagai perjalanan hidup yang saya jalani. Aku menemukan para sahabat yang tak pernah selesai dengan pendidikan formalnya, tapi mereka cukup gemilang dari ukuran menciptakan lapangan pekerja, mereka jagonya. Bahkan mereka terbilang lebih cukup tangguh, gesit dan kreatif dalam mengais rupiah, ukurannya dalam satu minggu saja bisa mereka bisa mendapatkan jutaan rupiah dari pekerjaan yang mereka geluti.

Salah satu diantara mereka adalah Muhammad Safwan, seorang guru, penulis buku puluhan buku, budayawan, fotografer, pengusaha keripik singkong, dan konsultan kreatif Kota Mataram. Ahmad Jumaili berpendidikan S1, guru, desainer website, fotografer profesional, dan pengusaha Madu Lombok Sumbawa. Dari usaha madunya perbulan ia meraup keuntungan 7 jutaan, ditambah dengan jualan kamera. jika ditotal keuntungannya ia mengasilkan puluhan juta rupiah. Qadro Wicaksono seorang fotografer profesional meninggalkan statusnya sebagai PNS, kemudian beralih profesi sebagai fotografer. Dari ratusan karyanya, ia banyak mendapatkan penghargaan nasional, dan Internasional. 

Dan masih ada puluhan lagi teman saya yang sukses tanpa selembar ijazah yang belum saya cantumkan. Dari mereka saya belajar banyak hal, salah satunya adalah hidup dan nasib itu tidak tergantung pada ijzah, mereka selalu berpesan pada saya "Ijazah itu penting, tapi bukan segala-galanya,". Dari mereka saya belajar tentang cara memproleh uang dengan cara-cara kreatif, hingga tak perlu bergantung pada ijazah.

Masa Depan Bukan Pada Ijazah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun