Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beharap pada Presiden Baru, Merawat Tenun Keberagaman

15 September 2014   22:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:36 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_342848" align="aligncenter" width="448" caption="Masjid Suasana Keberagaman di NTB "][/caption]

Saya ingin menggambarkan problem keberagaman yang dihadapai Bangsa Indonesia dari dulu hingga hari ini, khususnya di tanah kelahiran saya Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini dengan tali pengikat (perekat). Ibarat tali pengikat yang kian terus longgar – satu kelompok merasa berhak mendegasikan bahkan melenyapkan kelompok lain yang berbeda keyakinan dengan mereka. Argumentasinya untuk melindungi, menjaga dan memurnikan keyakinan atau paham mereka supaya tidak tercemar keyakinan yang merusakan Bangsa dan negara.

Dalam uraian ini saya tidak akan berbicara kasus-perkasus, karena kalau bicara kasus-perkasus penjelasan dan uraiannya akan sangat penjang. Pemahaman dan perspektifpun akan sangat beragam. Tapi yang jelas isu-isu keberagaman telah menjadi konflik laten ditengah masyarakat. Ia bahkan telah menjadi ‘hantu’ yang dianggap sangat menakutkan ditengah masyarakat serta mengundangbencana kebergaman. Entah itu disebabkan hal-hal kecil sampai yang memang direkayasa demi kepentingan kelompok tertentu yang mengatasnamakan kepentingan.

Saya tidak ingin membahas masalah ini secara rumit. Bukankah masalah ini sudah sangat-sangat rumit. Kalau disampaikan secara rumit, maka akan semakin rumit. Kita bisa putus asa dan menerima kerusakan yang ditimbulkan oleh masalah ini sebagai takdir Tuhan yang harus diterima. Masalahnya, apakah kita terlahir sebagai umat yang pasrah dengan keadaan? Atau kita akan berusaha dan berjuang menciptakan keadaan yang lebih baik?.

Selaku ummat yang tidak mau digolongkan sebagai orang yang pasrah –kita tentu telah diwarisi ‘senjata’ oleh para pendiribangsa ini untuk melawan anarkisme dan fundamentalisme dari kelompok-kelompok yang anti terhadap keberagaman, toleransi dan pluralisme. ‘Pluralisme” dalam arti sebagai modak sosio-kultural yang sangat berharga, bukan ancaman yang mencekam, sekaligus anak bangsa kita harus menjaga supaya tenun keberagaman bisa dirawat, saling menghargai perbedaan masing-masing, tanpa memandang apa pun keyakinan satu kelompok.

Senjata itu sekarang populer disebut 4 pilar kebangsaan - yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Inilah pedoman kita untuk memperkuat tali ikatan kebangsaan kita yang kini semakin longgar.Sudah sejak awal kita telah menjungjung tinggi keberagaman dan toleransi sebagai dasar dari Pancasila dan UUD. Dengan merawat tenun keberagamanan itu, berarti secara tidak lansung kita telah menjadi perekat bangsa.

Begitu juga akan sebaliknya membantah keberagaman sama artinya dengan terang-terangan kita menghianati menghianati UUD 1945 itu sendiri.Beserta Pancasila dengan menindas sesama warga negara yang menjalankan hak asasinya, sesunguhnya kita sedang membohongi satu sam lain saban kita menyanyikan “Indonesia Raya”, sambil mengucap rumus Pancasila, dan mengangkat sumpah di pengadilan. Pada dasarnya bukanlah sekedar kegagalan menjalankan program atau kurang suksesnya rencana kerja. Tindakan itu mengingkari sumpah jabatan dan membohongi rakyat yang menjadi saksi tekad bakti kita dalam pemilihan umum.

[caption id="attachment_342849" align="aligncenter" width="448" caption="Salah satu Klenteng di Amapenan, NTB"]

14107712101554193549
14107712101554193549
[/caption]

Tidak cukup kita kata “itu hanyalah kegagalan dalam dua segi program” sebab masalahnya tak dapat dihitung secara kuantitaif seperti pelaksanan proyek pembangunan rumah atau jembatan menurut perhitungan ilmu manajemen. Masalahnya terletak pada pertanggungjawaban kualitatif mengenai hidup matinya orang dan hak asasi manusia. Lebih-lebih tantangan kedepan bangsa Indonesia bukan saja derasnya arus globalisasi ekonomi-politik dari luar tapi mulai makin rapuhnya tatanan kebangsaan karena terus dihantam oleh sikap sebagian anak bangsa yang tidak menghargai (buta) toleransi, pluralisme sebagai tali pengikat kebangsaan kita.

Disinilah pentinganya mengingatkan kembali ‘keampuhan’ dari senjata warisan ini. Apa lagi negara cendrung lemah dan tidak berani tegas kepada kelompok-kelompok radikal yang terus mengoyak tatanan masyarakat yang toleran dan moderat. Disini negara (aparatur) hanya ingin selamat sendiri meski mengorbankan rakyatnya sendiri. Hal ini terjadi karena negara diatur oleh aparatur bukan pemimpin yang bisa membela kepentingan asasi rakyatnya.Beginilah buah dari demokrasi prosedural yang kini.

Presiden terpilih dan harapan baru

Mengapa masalah konflik keberagaman itu dari tahun ke tahun mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Jawaban yang paling mendasar adalah semakin rendah dan menipisnya perhatian dari pemertintah, termasuk politikus, baik ditingkat pusat dan daerah, terhadap berbagaipersoalan di daerah dapat menjadi potensi konflik. Pemerintah pusat dan daerah masih memandang masalah konfik keberagaman sebagai “sebelah mata”.

Kita belum sampai pada tahap demokrasi subtansial sehingga aparatur negara yang dihasilkan melalui proses demokrasi prosedural tersebut tidak memahami subtansi dari demokrasi. Kebijakan yang diambil terkait dengan isu-isu keberagaman bukannya menyuburkan toleransi dan pluralisme malah membukakan ruang untuk mendegasikan kelompok lain. Konflik keberagaman tidak akan terjadi jika semua pemangka kepentingan dalam hal ini Presiden terpilih (pemimpin baru) bekerja sama dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum, memiliki untuk menjaga, merawat persolan keberagaman menjadi kepentingan isu bersama.

Kita berharap Presiden baru periode 2014-2019 (pemimpin baru), mampu membawa kebahruan dalam menghasilkan demokrasi prosedural tersebut tidak tahu bagaimana merawat tenun keberagaman senjata untuk menegakkan subtansi dari demokrasi itu sendiri.Tidak heran ketika terjadi aksi-aksi intoleransi, aparat negara yang seharusnya hadir, melindungi dan menjaga korban intoleransi malah menyerahkan kepada hukum dilapangan -maka terjadilah eksekusi. Kita berharap “presiden baru”benar-benar mau mengurus rakyat, menanggalkan kepentingan pribadi. Kita juga membutuhkan presiden baru yang tegas (berani) menindak siapapun mengoyak tenun keberagman itu (pluralisme).

Di daerah bermunculan berbagai kebijakan (Perda) yang hanya menguatkankelompok tertentu yang sedang berkuasa dan meredam kelompok lain yang minoritas. Hingga semua ini menjadi pekerjan lama presiden baru. Dengan bahasa revitalisasi, kekuatan-kekuatan politik lokal berusaha dengan segala cara untuk men‘go publik’kan dirinya untuk meraih apa yang selama ini mereka rasa tidak mereka dapatkan. Ini juga yang saya lihat dan alami sendiri di NTB yang merupakan potret kecil dari Indonesia. *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun