Suasana sepi Sangupati desaku, foto; Ahyar ros
Saya tidak bisa menafikan, bahwa saya lahir dan dibesarkan sejak kecil hingga menginjak dewasa, hannya besar di desa. Bagi kami orang desa, tak pernah rebut-riuh dengan tahun baru. Tidak ada sesuatu istimewa dalam pergantian tahun. Pada malamnya kami akan tidur pula, tak pernah terpikiran untuk merayakan tahun baru. Sepi, tanpa riuhnya petasan gemerlap kembang api sudah biasa sejak bertahun lamanya.
Hingga tak aneh, jika orang desa seperti saya mengangap tahun baru itu hal biasa. Seperti yang telah saya tulis pada status facebook sebelumnya. Menjelang pergantian tahun kali ini, tidak ada sesuatu hal istimewa. Mungkin sebagian dari anda akan memanfaatkan pergantian tahun dalam berbagai persiapan bersama kearabat maupun sahabat hingga orang yang anda sayanggi. Dan mungkin setiap menjelang akhir tahun akan dirayakan dengan bersua letupan marcon dan riuhnya suara mereka yang menikmati tahun baru.
Bunyi terompet, ledakan macron kemudian letusan kembang api mengubah warna malam pergantian tahun baru. Beberapa kawan dari desa menelpon saya, hannya sekedar menanyakan, hai… Ahyar, pasti kau sedang habiskan malam tahun baru di Monas? Lantas Saya hannya bisa menjawab “dari dulu sampai sekarang orang kampung kita tak mengenal istilah tahun baru. Malam ini saya akan habiskan waktu berdiam diri disalah satu kontrakan kawanku di Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat”. He..he..ujarku
Satu jam sebelum pergantian tahun baru. Saya pun diajak salah seorang kawan, untuk keluar menyaksikan lansung ribuan warga ibu Kota Jakarta bersama gemerlapnya Tugu Monas, namun saya tak bisa mengiyakan ajakan kawanku itu. Saya justru lebih asyik menghabiskan waktu bersama buku-buku yang sempat beberapa hari saya beli di Shopping Centre, Yogyakarta.
Saya lebih memaknai setiap pergantian tahun, tak ubahnya seperti pergantian hari-hari atau mingguan sebelumnya. Pergantian tahun itu akan begitu bermakna, ketika kita mau belajar dari pengalaman-pengalakan yang telah menempa diri kita. Sebab sebagian kecil dari kita, sering merasa bangga, ketika merayakan tahun baru bersama gemerlapnya kembang api dan bunyi petasan. Tanpa disadari, kita sering alpa untuk belajar dalam berbagai perjalanan.
Hidup di desa mengajarkanku segudang mutiara keindahan. Merdunya suara jangkrik dan ramainya suara kodok lebih saya rindukan, namun kali ini bunyi saya pun sudah di Jakarta, tapi saya tak membohonggi diri. Saya lebih merindukan suara jangkrik dan kodok itu, dari pada letupan macron di Tugu Monas. Saya hannya melewati pergantian itu dengan merenung, dan tanpa harus latah keluar malam berkumpul, bersorak ria bersama sahabat, hannya sekedar ditemani minuman cap bintang dan botol minuman yang tak pernah saya lihat sebelumnya.
Terkadang saya merasa heran, ada diantara kawanku harus merayakan tahun baru dengan cara berlebihan, tanpa pernah mau belajar dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam hati saya merenung, berbahagialah saudara-saudara kita nun jauh dari pusat kota, desa di mana mereka menghabiskan masa pergantian tahun baru ditemani bunyi jangkrik dan riuhnya suara kodok.
Jakarta, 1 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H