Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Agar Tak Menjadi Sumpah Serapah

29 Oktober 2015   10:04 Diperbarui: 29 Oktober 2015   14:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi, Foto, (Ahyar Ros)"][/caption]

Semangat yang riuh itu terus menjadi penabuh datangnya hari bersejarah itu, ya “Hari Sumpah Pemuda” Kita mengenangnya. Hampir sebelum 17 tahun Indonesia Merdeka, di suatu pagi, tepatnya hari minggu, 28 Oktober 1928, berbagai kelompok muda-mudi (relawan) dari berbagai latar belakang, suku, agama dan etnis.

Mereka menamakan dalam satu perhimpunan pelajar – pelajar Indonesia (PPPI), Kumpulan pelajar ini menyatakan, bahwa kaum muda, bukan lagi menjadi bagian dari anak muda yang bercerai-berai. Dalam himpunan itu, mereka tak lagi bertanya satu sama lain, Anda dari suku mana, agama, etnis.

Semangat berbangsa menyatukan tekad para himpunan pelajar ini untuk bicara dalam satu bangsa, satu bahasa yang sama berdaulat di atas tanah air yang sama bernama “Indonesia”. Pada hari itulah, menjadi hari lahirnya bangsa, bahasa tanah air Indonesia. Hingga saat ini, hari tersebut menjadi momentum bersejarah bagi generasi muda dan generas usia (tua).

Bangsa kita lahirkan oleh pemuda yang berani mengambil keputusan besar untuk pemuda Indonesia waktu itu. Tanpa keputusan pemuda hari itu, niscaya bangsa ini tak akan lahir bahkan sampai menjadi sebuah kemerdekaan saat ini. Mereka sadar mengambil keputusan besar memlilki resiko tinggi.

Melalui keputusan itu mereka harus melalui perjuangan penderitaan, ketakutan. Hingga pada akhirnya tanggal 17 Agustus pun bisa dicapai.

Setelah 70 tahun, kita pun telah terbiasa menikmati kemerdekaan itu, sebagian keci dari kita yang mencoba merenung sejenak. Seberapa panjang perjuangan, pendeirtaan dan banyaknya peluh keringat menetes dan darah yang mengalir untuk mengapai sukses itu. Perjuangan himpunan pemuda ini menandaskan pesan, sekecil apa pun mimpi yang hendak dicapai, semuanya membutuhkan pengorbanan (kerja keras).

Tak sekedar umpatan

Menjadi kebiasaan kita, mengumpat dan menyalahkan orang lain menjadi penyakit sosial yang terus dibiasakan. Tampak di sosial media, twitter, dan facebook atau status lainnya, menjadi wadah sangat masif untuk menyebarkan umpatan itu. Terkadang umpatan (ucapan kurang baik) menjadi bagian yang tidak mampu terbendung dari kebiasaan mereka yang masih berjiwa muda.

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel Prof. Rhenald Kasali, mengatakan, banyak diantara kita saat ini hannya menjadi “generasi wacana” yang pandai berteori, berdebat dan mengritik, namun tak berani mengambil keputusan, engan bertindak untuk mengapai tujuannya. Kenapa bisa demikian? Karena dalam setiap keputusan yang diambil.

Agar Sumpah Pemuda, tak menjadi sumpah serapah, alangkah baiknya kita tidak menjadi bagian dari generasi yang, hannya latah mengumpat menyalahkan pemimpin dan orang-orang disekeliling kita. Menjaga tanggung jawab kita, agar terus menjadi, Hari Sumpah Pemuda sebagai momentum merefleksikan perjuangan para pendiri bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun