Saya tak menulis makalah panjang saat membawakan sesi soal menulis populer (catatan perjalanan) dan manajemen sosial media. Minggul lalu, seorang teman di VIBE Indonesia Center dan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (UNRAM) mengundang saya bersama teman di School Literacy Rinjani (SLR). Acaranya berlansung di Hotel Aruna Sengigi, Lombok Barat (7/11/21), saya mulanya mengira sesi itu akan dilakukan dengan format kecil, 10 sampai 12 orang, dengan diskusi hangat dan suasana temaram. Ternyata pesertanya 40-an orang dengan ruang besar, banyak meja, kursi berjejer serta keriuhan peserta.
Disesi ini, intinya saya cuma mengajak para peserta mahasiswa aktivis, dosen untuk berpikir ulang tentang soal bagaimana mereka bisa menulis dengan bahasa ringan, sederhana sekaligus menarik. Saya tahu banyak dari peserta punya pengalman dahsyat. Dari pemahaman tentang isu yang kurang jadi perhatian sampai menarik perhatian banyak orang. Dari Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai Maumere, dari Jakarta sampai Aceh. Ini semua bahan yang menarik untuk diceritakan, lalu dibagikan pada teman-teman dikanal jagat digital.
Mereka ada yang pernah mendatanggi satu kota dan bahkan lebih dari dua provinsi di Indonesia. Berkunjung ke tempat-tempat menarik yang mungkin tak pernah dikunjunggi keluarga, sanak-saudara, dan tetangga di kampung halaman kita. Aduh, ini adalah bahan-bahan cerita yang berkuah untuk ditulis gurih dan diramu hingga menjasi ulasan yang renyah dibaca buat orang lain.
Mengutip kata, Pramoedya Ananta Toer (penulis Bumi Manusia) dalam nasihatnya mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi ia tidak menulis, maka ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,". Kira-kira begitu pesan mendiang Pram.
Setidaknya ada dua syarat sederhana yang bila kita ingin "Bekerja untuk keabadian" Pertama, kita harus punya kepo atau rasa ingin tahu yang tinggi dan kedua, harus punya keberanian. Artinya, kita harus benar-benar menguasai isu yang kita hendak tulis. Janganlah kita menulis perihal "Peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat atau globalisasi dalam kaitannya dengan Pancasila serta Islam" dan seterusnya. Kata-kata itu cuma jargon.
Kita jangan membebek orang lain menulis. Mereka sok pintar. Mereka sering tak tahu perdebatan-perdebatan yang sering dilakukan orang-orang macam Thomas L. Friedman dan Jared Diamond soal globalisasi. Mereka tak tahu Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang menulis dengan kata-kata sederhana dan kalimat pendek-pendek dalam catatan harian mereka.
Alangkah baiknya, jika kita menulis persoalan sehari-hari. Penyair Widji Thukul menulis masalah sehari-hari dari syairnya. "Tadinya aku pingin bilang, aku butuh rumah, tapi lantas kuganti dengan kalimat semua orang butuh tanah. Ingat; setiap orang! Tulis Thukul dalam tentang sebuah gerakan. Sederhana sekali kan?
Kalau kita mau tahu, maka kita harus bikin riset, kita harus baca buku. Kita harus wawancara orang dan melakukan reportase (mengamatan). Minta izin bila hendak mengutip omongan orang. Harus jujur dan transparan. Kita menulis soal pupuk yang langka dan mahal dikampung kita, kita tulis soal kesulitan tetangga si tukang sol sepatu atau pedagang cilok. Kita tulis tentang orang-orang biasa. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Semua keterangan itu harus kita saring. Carilah kebenaran.