Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berdemokrasi Ala Suku Bajo

7 Oktober 2014   05:35 Diperbarui: 20 Oktober 2015   00:17 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14126086031640111240

[caption id="attachment_346396" align="aligncenter" width="448" caption="Pulau Bungin, salah satu pulau tempat tinggal Suku Bajo di Sumbawa Barat (Foto Ahyar)"][/caption]

Saya merasa beruntung sempat bertandang ke Pulau Kaung, sebuah pulau kecil di pesisir pantai barat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Di pulau ini menetap lebih dari 2.000 jiwa. Sebagian besar mereka keturunan suku Bajo yang tersohor sebagai pelaut tangguh. Orang Bajo merupakan suku anak laut di Nusantara yang populasinya tersebar hampir menjangkau seluruh kawasan pesisir Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

Selain sebagai pelaut tangguh, diam-diam orang Kaung juga memiliki kesadaran politik tinggi. Tiap hajatan politik digelar, seperti pilkada atau pemilu presiden dan DPR, untuk sesaat Pulau Kaung berubah menjadi “pasar politik” yang mengairahkan. Di “pasar” itu ada sekitar 1.400 suara yang diperebutkan. Dari kisah beberapa orang tua di sana, saya mengetahui pengaruh politik orang Kaung melintasi batas geografis pulaunya.

Orang Kaung kerap menjadi rujukan untuk menentukan pilihan politik bagi sebagian besar dari sekitar 20 ribu orang Bajo yang menetap bertebaran sepanjang pesisir Pulau Sumbawa. Menariknya, komunitas orang Kaung hampir tidak mengenal istilah golput. Bagi mereka memilih itu bukan sekadar kewajiban, melainkan hak yang tak sepatutnya disia-siakan.

Bahkan di saat suara yang mereka berikan seringkali dikhianati pemimpinnya, mereka orang Kaung tetap dengan memberikan suaranya. Saya tidak tahu persis darimana datangnya kesadaran mereka bahwa memilih itu hak bukan kewajiban belaka. Kesadaran politik orang Kaung menarik dicermati. Terlebih lagi di tengah gejala umum kian menguatnya antipati dan sinisme publik terhadap politik.

Dalam demokrasi kita kini, rakyat  lebih sering menjadi pengembira yang dimanipulasi. Fungsinya persis seperti umbul-umbul hiasan yang mempercantik suasana sebuah pesta. Begitu pesta usai, umbul-umbul diturunkan untuk dilupakan. Dalam demokrasi ’umbul-umbul” begitu, posisi rakyat meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, baru sebatas sebagai “alas kaki” kekuasaan.

”Demokrasi umbul-umbul” sama sekali tidak produktif melahirkan sesuatu perubahan yang esensial dan hakiki bagi hidup rakyat. Tidak heran jika kemudian terjadi kontras yang tajam tiap kali musim pemilihan menjelang: kaum elit partai bersibuk ria mengambil hati rakyat, sementara rakyat cenderung bersikap pragmatis-apatis.

Dalam demokrasi umbul-umbul, mengunakan hak pilih menjadi pekerjaan yang hampir-hampir tidak memiliki pertautan apapun dengan perbaikan nasib kehidupan bersama di masa depan. Dalam ”demokrasi umbul-umbul”, memilih bagi rakyat hanya menjadi rutinitas sekadar mengugurkan kewajiban sebagai warga negara.  

Kita sering mendengar pernyataan sinis, “Siapapun presidennya, gubernur, bupatinya, nasib kami sepertinya tetap saja begini. Bahkan bisa menjadi kian memburuk jika dapat penguasa yang bebal dan lupa daratan”. Pernyataan semacam ini merefleksikan pengap dan sumpeknya kehidupan demokrasi kita. Rakyat mengalami defisit kepercayaan yang mendalam terhadap elit politik yang celakanya mereka pilih sendiri.

Almarhum Kontowijoyo (2004) menganalogikan  dalam ”demokrasi umbul-umbul”,  rakyat seperti  penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang, tanpa kompas dan kehilangan arah dan tujuan. Rakyat semacam ini rentan diperlakukan tidak adil, dipinggirkan, dan disingkirkan dalam riuh rendah politik. ”Demokrasi umbul-umbul” melahirkan para petualang politik dan ekonomi.

Mereka ada di dalam partai, juga ada di lingkaran elit penguasa. Para petualang ini punya satu kredo: uang dan kuasa. Korupsi dan demoralisasi pasti merajelala dalam situasi politik serupa itu. Idealnya, demokrasi membutuhkan warga negara yang kritis, yang tidak dengan mudah dan murah menyerahkan suara dukungannya tanpa reserve kepada elit politik. Warga negara yang  berani menyuarakan dan mendesakkan kepentingan mereka kepada penguasa.

Warga negara yang sadar bahwa suara mereka adalah amanah Tuhan untuk sepatutnya dipergunakan dengan penuh rasa hormat. Bukannya dipergunakan serampangan sehingga melahirkan pemimpin yang ketika berkuasa kehilangan rasa hormat kepada rakyatnya.

Kalau kini yang kita saksikan adalah potret pemilih yang umumnya pasif, cenderung pragmatis  dan kehilangan harapan atas datangnya perubahan, itulah cermin dari ketidakbecusan kita sebagai bangsa menggelola demokrasi. Demokrasi kita sedang tertindas dan diselewengkan para pelakunya sendiri.

Bung Hatta, bapak demokrasi Indonesia, dalam risalah tipisnya  yang berjudul Demokrasi Kita yang dirilis pada 1960 yang menjadi kritikan tajam bagi praktek demokrasi terpimpin Bung karno waktu itu, menyatakan syarat mutlak hidupnya demokrasi adalah adanya rasa tanggung jawab para pelaku demokrasi. Demokrasi yang bertanggung jawab tidak membenarkan sikap all or nothing (semua atau tidak sama sekali), take it or leave it (ambil atau tinggalkan).

Orang Kaung dengan cara pandang politiknya yang memaknai memilih sebagai hak, jelas sedang menjalankan demokrasi yang bertanggung jawab. Mereka tunaikan haknya dengan kesadaran penuh dan rasa hormat atas pilihannya. Lalu aktif  menuntut kewajiban pemimpin yang terpilih nanti untuk menunaikan pula amanah kepemimpinan dengan rasa hormat yang sebanding kepada rakyatnya.

Jika hubungan antara pemilih dengan pemimpin yang dipilih terbangun atas rasa tanggung jawab dan hormat yang setara, niscaya kita bisa berharap demokrasi kita bukan lagi menjadikan rakyat sekadar umbul-umbul apalagi  ‘alas kaki’ kekuasaan. Bung Hatta sudah menulis risalah tipisnya lebih dari 40 tahun silam untuk mengingatkan kita sebagai anak bangsa agar menjalankan demokrasi dengan kehormatan diri yang tinggi.

Tetapi apa lacur sebagai bangsa kita tak kunjung bisa menegakkan demokrasi seperti Bung Hatta bayangkan. Para politikus belum lagi bisa menjunjung etika dan kehormatan dirinya, apalagi menghormati rakyat pemilihnya. Salah siapa?.  

Penulis aktif di Menulis Komunitas Kampung Media, Kompasiana.com, ahyarrosi.blogspot.com, @AhyarRos 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun