Siapapun presiden di negeri ini koruptor tetaplah jaya. Makin hebat presiden berteriak-teriak berantas korupsi makin hebat pula koruptor beraksi. Bahkan koruptornya dari kalangan orang-orang dekat dengan presiden itu sendiri yang ikutan teriak-teriak berantas korupsi bersama presiden.
Dengan demikian presiden-presiden produk reformasi gagal memberantas korupsi. Padahal salah satu tuntutan reformasi adalah memberantas korupsi yang tumbuh dan berkembang semasa Presiden Soeharto dan sebelumnya Presiden Soekarno. Dalam kenyataannya korupsi bukannya berkurang malahan semakin menjadi-jadi dan menyebar ke mana-mana dan di mana-mana.
Tidak mengherankan kalau prestasi koruptor selalu meroket mengalahkan prestasi presiden di negeri ini. Terlihat dari setiap tahunnya Indonesia selalu menempati posisi bagian atas sebagai negara-negara terkorup di dunia terlebih lagi di Asia Tenggara.
Pada tahun 2017, Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada peringkat ke-96 bersama Brazil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand dan Zambia. Di Asia Tenggara berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Timor Leste.
Meroketnya prestasi koruptor berkaitan erat dengan jabatannya yang tinggi dalam negara. Makin tinggi jabatan koruptor makin besar pula korupsinya. Makin tinggi jabatan koruptor makin banyak pula jaringan korupsinya atau melibatkan banyak pejabat lainnya.
Korupsi e-KTP yang dilakukan Setya Novanto selagi menjabat Ketua DPR RI menempati prestasi paling banyak merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Melibatkan pejabat-pejabat negara begitu banyak meski KPK hanya mau menangkapi sebagiannya saja sedang sebagian lainnya dibebaskan karena mendapat perlindungan  budaya "ewuh pakewuh".
Sebenarnya budaya "ewuh pakewuh" itu pula yang dahulu melindungi Presiden Seokarno, Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, Megewati Soekarno Putri dan SBY dari dijebloskan dalam penjara gara-gara terindikasi korupsi. Tampaknya ada kecenderungan siapapun presidenn yang terindikasi korupsi akan dibebaskan dari segala jeratan hukuman sebagai suatu penghormatan atas jabatan presiden sebagai penguasa tertinggi.
Kecenderungan itu mengesankan bahwa penguasa tertinggi tidak mungkin salah serupa raja-raja pada masa lalu. Berakibat perintah penguasa tertinggi atau raja adalah hukum. Terkenal ucapan Raja Louis XIV bahwa "L'etat c'est moi" (negara adalah saya). Berakibat ketentuan kesamaan hukum bagi semua warga negara di negara-negara  berdasarkan hukum hanya berlaku untuk warga negara biasa-biasa saja tapi tidak berlaku bagi presiden atau mantan presiden. Termasuk juga pejabat-pejabat yang mendapat perlindungan dari presidennya.
Kalau saja kesamaan hukum bagi semua warga negara diterapkan secara konsisten dan konsekuen niscaya ada harapan pemberantasan korupsi bisa berhasil. Dimulai dari diri pribadi dan keluarga presiden yang harus bersih dari korupsi lalu berlanjut kepada pejabat-pejebat di bawahnya hingga paling bawah. Tapi bagaimana bagaimana cara mendapatkan pejabat yang bersih dari korupsi kalau proses pemilihan menjadi pejabat melalui Pilkada dan Pilpres begitu sarat dengan uang hasil korupsi?
Kalau begitu adanya upaya apapun untuk memberantas koruptor pastilah gagal total. Hanya sebagian kecil koruptor saja yang dijebloskan ke dalam penjara sebagai formalitas berkaitan dengan adanya UU Anti Korupsi, KPK dan Tipikor. Bahkan setiap koruptor yang bukan pejabat negara bisa bebas dari hukuman dengan kabur ke luar negeri.
Kelak pada saat masyarakat sudah melupakan kasusnya atau tenggelam di bawah alam sadar masyarakat maka koruptor bisa pulang kampung dengan mendapat sambutan karpet merah sebagai pahlawan investor. Bersiap melakukan korupsi untuk yang kesekian kalinya dengan jumlah kerugian keuangan negara yang lebih besar lagi.