"Ayah. Kayaknya enggak jadi. Batal!"
Aku mengernyitkan dahi. Berpikir sejenak. Kurang begitu memahami. Kagak mengerti. Melihat wajah anakku, Rafi begitu muram, hitam dan begitu mendung.
Sebelumnya dia begitu riang lagi penuh harapan. Maklum saja beberapa bulan lagi melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita cantik pilihannya sendiri meski belum lama berkenalan liwat taaruf sekilas tanpa melalui pacaran layaknya anak-anak muda seusianya.
Keduanya bertemu dua tiga kali berkenalan lewat perantara orang lainnya lalu janjian melangsungkan pernikahan setelah mendapat persetujuan dari orangtua perempuan. Begitu pula aku dan ibunya setuju. Bahkan gembira banget mendengarnya.
"Apanya yang batal...," kataku  dengan harap-harap cemas mendengar ucapannya yang tiba-tiba karena aku menduga jangan-jangan soal rencana pernikahan sehingga hatiku serasa sakit bagai diiris sembilu padahal belum mengetahui kabar yang sebenarnya. Mungkin saja bukan soal pernikahan.
Aku sudah membayangkan duh betapa malunya telah memberi kabar sebelumnya kepada kawan-kawan akrabku bakal mengundang mereka dalam pernikahan anakku yang pertama dan terakhir karena anakku hanya tinggal dia sedang adiknya telah lebih dahulu menghadap Nya akibat kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu.
Rafi diam. Merengut. Wajah ketekuk menunduk dalam-dalam. Dia pikir gara-gara tanpa pacaran lebih dahulu berakibat begini jadinya. Nyesal. Kenapa dahulu tidak mencoba pacaran dulu.Â
Bahkan kalau perlu bisa kiss-kissin dulu layaknya anak-anak muda di mana-mana. Kalau kiss-kissan kan tidak mungkin hamil. Cuma sentuhan bibir sama bibir apa sih salahnya. Tapi melalui kiss-kissan baru ketahuan apakah seorang wanita benar-benar bersih dan suci atau tidak.
Aku tidak perlu bertanya lebih lanjut ketika melihat wajah istriku yang mendung pertanda hujan. Bisa jadi barusan dia menangis tanpa bisa berbuat apa-apa lagi meskipun sudah berusaha menasehati anaknya supaya berpikir lagi jangan main putusin batal begitu saja. Hanya saja istriku sudah bisa memahami alasan dibalik keputusan anakku. Mungkin sebelumnya keduanya telah banyak ngobrol. Memang anakku lebih suka ngobrol dengan ibunya ketimbang diriku sejak dari kecilnya.
"Nih baca Kang," kata istriku biasa memanggilku Akang sambil memperlihatkan sebuah sms dari sebuah Hp milik anakku bernama Rendy. Tertulis di dalamnya, "Saya kawan sekelas Desiwati di SMA Surabaya.Â
Dari hati paling dalam menginginkan Anda tidak kecewa dan baik-baik saja bilamana menjadikan si Des sebagai istrimu. Bersabarlah. Karena si Des selepas SMA bekerja sebagai sekretaris yang akrab dengan bosnya. Sering berdua-duaan ke mana-mana lagi suka kiss-kissan dan lebih jauh lagi.... Saya kasihan dengan Anda. Jadi sebelum terlambat putuskan saja mengingat Anda adalah laki-laki baik sebagaimana yang saya ketahui dari kawan-kawan Anda..."