Polisi kerapkali mengidentifikasi teroris sebagai Muslim atau Muslimah. Terlihat dari KTP, pakaian, berjenggot, jidat hitam dan takbir "Allahu Akbar". Meski ada juga teroris yang beraksi tanpa menunjukkan identitas keislamannya sebagaimana teroris yang menyerang Mapolda Riau hingga menewaskan polisi Muslim yang sholeh almarhum Ipda Auzar.
Biasanya pula jika teroris sudah beraksi kemudian mati kena dor polisi maka polisi membuat narasi2 bahwa teroris yang mati termasuk jaringan teroris ini dan itu serta berkait dengan ISIS atau Alqaedah. Bisa juga ditambah teroris pernah ikutan berjihad di Suriah dan punya keahlian merakit bom serta bercita-cita mendirikan Negara Islam, Kekhalifahan dan menegakkan Syariat Islam.
Narasi2 polisi tentang teroris yang mati langsung diamini wartawan2 media massa tanpa ada kritikan sedikitpun. Percaya 1000 persen.
Masyarakat pun memakan mentah2 semua pemberitaan dari media2 massa. Tidak pernah berpikir kalau informasi yang dimakannya adalah mengandung racun dan bukan obat. Karena informasinya tidak benar, dusta dan bohong. Racun dan obat bercampur sehingga obatnya menjadi racun. Tidak pernah terjadi racun dicampur obat atau obat dicampur racun hasilnya adalah obat.
Hanya sebagian kecil masyarakat yang tidak pernah secara langsung memakan mentah2 pemberitaan media massa. Berusaha mengklarifikasi setiap informasi yang ada di dalam pemberitaan. Kalau yakin benar diteruskan. Kalau belum yakin benar diendapkan dan didiamkan lebih dahulu. Kalau terbukti salah langsung dihanguskan dan ditenggelamkan.
Dengan narasi2 begitu semestinya pada bulan Ramadhan tidak seorangpun teroris melakukan aksi2 heroiknya dengan meledakkan dirinya pake bom atau menyerang polisi bersenjata otomatis pake pedang. Menutup kemungkinan bagi teroris masih bisa hidup setelah melakukan aksinya.
Bagi teroris hanya berlaku one way ticket. Tidak ada tiket pulang pergi. Biar polisi bisa bebas membuat narasi2 secara panjang lebar lagi sambung bersambung sesuai kehendak polisi itu sendiri. Kecuali kalau mayat teroris bisa bangkit lagi lalu protes kepada polisi barulah polisi berhenti membuat narasi2 yang begitu mengerikan tentang teroris2 yang sudah mati ditembak polisi tanpa ampun.
Sekiranya masih ada teroris melakukan aksi2 heroiknya di bulan Ramadhan pastilah bukan teroris ber-KTP beragama Islam. Kalaupun ber-KTP Islam pastilah KTP palsu.
Muslim-muslim yang melakukan aksi2 meledakkan bom atau menyerang polisi di Indonesia pada bulan Ramadhan pastilah Muslim abal2. Kecuali kalau Muslim-muslim meledakkan bom dan menyerang polisi atau tentara Israel di Jerusalem. Sebab di sana adalah medan perang berlaku ketentuan hukum untuk membunuh atau terbunuh. Kalau tidak membunuh pasti terbunuh. Bahkan polisi dan tentara Israel begitu leluasa membunuh Muslim2 Palestina dan bahkan juga Kristen2 Palestina.
Perbuatan polisi2 dan tentara-tentara Israel adalah tindakan teror-teror terhadap perikemanusiaan yang kejahatannya melebih kejahatan manapun di dunia termasuk Indonesia. Teror2 di Indonesia tidak ada artinya apa2 saking kecilnya dibandingkan teror-teror Israel terhadap penduduk Palestina saking besarnya.
Enam hari puasa sudah berlalu. Selama enam hari belum ada kejadian bom meledak karena aksi teroris. Berarti teroris-teroris sedang berpuasa. Berusaha menahan diri jangan melakukan aksi-aksi heroik yang bisa membatalkan puasanya atau membatalkan puasa2 Muslim2 lainnya.