Mohon tunggu...
Akhila ApratimaMartha
Akhila ApratimaMartha Mohon Tunggu... Aktor - menulis sebagai hobi dan curahan hati serta pikiran

suka menulis sebagai penuangan pikiran yang tyidak bias disampaikan kepada orang lain yang disebabkan oleh terlalu introvertnya diri saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Bodoh dan Mereka Pintar

5 Maret 2020   14:19 Diperbarui: 5 Maret 2020   14:20 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapakah orang tua yang tidak bangga melihat anaknya yang mendapatkan nila 100 di ujian matematikanya. Siapakah saudara yang tidak senang melihat saudara lainnya selalu mendapatkan peringkat 1 di kelas karena nilai akademik yang selalu baik. Namun sebenarnya apabila dianalisa lebih dalam, kurikulum yang dipakai sebagian besar sekolah di Indonesia hanya menguji kemampuan akademik siswa. Nilai-nilai bagus yang didapatkan siswa juga adalah hasil kemampuan kognitif. 

Ujian-ujian yang disediakan juga merupakan ujian tertulis, mengenai teori, hafalan, dan hitungan, yang banyak mengambil kemampuan otak kiri saja. Namun yang dipertanyakan oleh penulis, apakah seseorang yang mendapatkan nilai matematika di bawah 50 adalah orang yang bodoh, dan orang yang mendapatkan nilai matematika 100 adalah orang yang pintar? 

Apakah anak yang mendapatkan peringkat pertama di sekolah dasar adalah anak pintar dan Anak yang mendapatkan peringkat terakhir adalah anak yang bodoh? Apakah anak yang bisa berbahasa inggris sejak usia dini adalah anak pintar, sedangkan yang hanya berbahasa Indonesia kita sebut bodoh?

Beberapa kartun anak yang ditayangkan di televisi pada saat inipun memunculkan makna tersirat mengenai penilaian tentang kepintaran seseorang. Contohnya kartun anak dari Jepang yang menampilkan seorang anak kelas 5 SD yang selalu mendapatkan nilai 0 di ujian matematikanya. Lalu anak tersebut dianggap bodoh oleh teman-temannya. 

Hal ini menimbulkan asumsi di masyarakat bahwa anak yang tidak pintar matematika adalah anak bodoh. Begitupun dengan iklan-iklan di media, salah satunya iklan televise. Iklan suplemen anak, suplemen untuk kepintaran anak, dan sejenisnya, menampilkan bahwa setelah meminum produk tersebut anak menjadi mendapat peringkat 1 di sekolah, bisa menjawab pertanyaan matematika dengan cepat, dan mendapat nilai 100 di ujian tertulis.

Namun sebenarnya apakah yang salah dari semua ini? Hal apakah yang menjadi kesadaran palsu di masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya sehari-hari di lingkungan kita dan media yang ditayangkan dan ditonton masyarakat banyak. Apabila kita mau belajar setiap hal lebih dalam, banyak sekali hal yag tertutupi oleh budaya dan media di lingkungan hidup kita. Dalam kasus ini, sebenarnya, kepintaran seseorang dibagi menjadi banyak bagian. Ada orang yang menggunakan otak kananlebih banyak, ada yang menggunakan otak kiri lebih banyak. 

Ada yang memiliki kepintaran linguistik, sedangkan yang lainnya tidak. Salah satu contoh yang terkenal adalah seorang ilmuan Albert Einstein. Diceritakan bahwa beberapa kali ia tidak naik kelas di sekolah dasar, namun ia sekarang terkenal sebagai penemu teori Relativitas, dan adalah bapak fisika kita. Sangat besar kemungkinan juga seseorang pintar bermain musik namun sangat sulit mempelajari teori bilangan. Apakah Einstein bisa kita anggap bodoh? 

Dan para pemusik yang tidak bisa matematika juga bodoh? Tentu tidak. Setiap manusia dibekali dengan bakat dan talenta masing-masing. Memang ada yang dibekali dengan multitalenta, namun seseorang yang bisa mengembangkan satu talenta yang ia miliki adalah orang yang pintar juga. Seperti sebuah kalimat, "Don't judge a fish by its ability to climb the tree". Jangan menghakimi seekor ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, jangan mudah menganggap orang lain bodoh karena tidak mampu berbahasa inggris, sulit berhitung, dan mendapat nilai jelek di sekolah.

Jadi, perlu sekali untuk kita memiliki kesadara penuh di tengah budaya yang semu, dan media-media yang menciptakan pandangan yang salah mengenai nilai seorang manusia. Jangan mudah ditipu oleh kesadaran palsu yang akhirnya membuat kita menghakimi satu sama lain, atau bahkan mengurangi nilai di dalam diri kita sendiri.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun