Wong wedok iku ra ketok penggaweane (Orang perempuan itu –baca ibu rumah tangga- itu tidak terlihat pekerjaannya. Atau penggaweane akeh tapi ra ono kayane (Pekerjaannya banyak tapi seolah tidak ada penghasilannya)
Begitulah kira-kira, suara-suara sumbang yang sering terdengar jika seorang wanita memilih berkarir sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaannya yang menumpuk di rumah, seolah tak pernah selesai walau sudah seharian mengerjakan ini itu. Apalagi jika memiliki anak kecil yang masih berusia kurang lebih satu tahun, sedang merangkak dan belajar berjalan. Huff...capeknya rasanya minta ampun. Belum lagi jika sedang pipis, Pup, minta makan, rewel, nangis, sakit, hadew...kesabaran yang kita miliki, rasanya kurang jika harus dikurskan dengan polah tingkah anak-anak yang sangat ribet.
Mungkin, kondisi ini pula yang menjadi alasan, mengapa wanita-wanita usia produktif di Amerika pada tahun 1950an, 9% diantaranya, ogah memiliki anak. Angka ini naik menjadi 25% ketika diadakan survei kembali paa tahun 1980-1990an. Mereka lebih memilih menjadi wanita karir yang berpenghasilan, daripada harus ribet menjadi ibu rumah tangga.
Lalu, bisakah profesi menjadi ibu rumah tangga disebut sebagai wanita karir?
Jika dibandingkan, wanita yang bekerja di perusahaan (wanita karir) dengan wanita yang memilih bekerja di rumah (sebagai ibu rumah tangga), secara pekerjaan, lebih berat menjadi ibu rumah tangga. Untuk bekerja di perusahaan, yang dibutuhkan hanyalah skill khusus yang berhubungan dengan bidang pekerjaan. Sebagai contoh, menjadi sekretaris. Keahlian yang harus dimiliki menjadi seorang sekretaris hanyalah berkaitan dengan pembukuan keuangan. Mengatur kelur masuknya uang, atau barang, serta bagaimana alur keluar masuk itu dapat dlaporkan setiap akhir bulan. Akuntansi.
Sedangkan menjadi ibu, seorang wanita dituntut untuk menjadi seorang manusia yang harus selalu peka terhadap rangsangan. Ia harus memiliki perasaan yang tajam dan bahasa ‘sakti’ agar mampu menerjemahkan setiap keinginan bayi yang diungkapkan dengan bahasa tangis. Misalnya, ketika bayi menangis, seorang ibu akan mengecek satu persatu penyebab tangisnya. Mungkin popoknya basah. Mungkin minta minum. Mungkin sedang lapar. Mungkin sedang BAB. Mungkin tidak bisa sendawa. Mungkin masuk angin. Mungkin mengantuk. Mungkin ingin digendong. Dan mungkin-mungkin yang lain yang harus segera itemukan agar tangis bayi tidak semakin meledak.
Belum lagi jika musim hujan. Pakaian tidak kunjung kering padahal harus segera dipakai lagi. Sebanyak apapun stok pakaian bayi, jika cucian tidak kunjung kering, stok pakaian yang ada lama-lama habis juga. Akhirnya harus diseterika. Selain itu, masih banyak pekerjaan seorang ibu rumah tangga yang siap menanti jika satu pekerjaan telah selesai. Bagaimana mengajari anak supaya motoriknya berkembang. Bagaimana mengenalkan benda-benda. Mengajari bicara. Hmmm...jika saya disuruh memilih, antara menunggu anak dengan mencuci baju segunung, saya lebih memilih menucuci. Bukan apa-apa, menjaga anak itu memang berat dan susah.
So, kita harus ingat. Menjadi apa kita sekarang ini, sebagian besarnya adalah atas jasa ibu kita yang dengan tulus ikhlas merawat kita dengan tekun dan sabar. Memberikan kita pengajaran agar kita mengerti dan paham dengan banyak hal. Dan menurut saya, menjadi ibu rumah tangga adalah karir yang sangat mulia bagi seorang wanita. Dibutuhkan multiskill untuk mengantarkan anak-anak menjadi generasi yang bermartabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H