Belajar bisa di mana saja dan kapan saja. Juga dengan siapa saja. Tidak harus menunggu dia seorang guru atau dosen. Dengan orang-orang di sekitar kita pun, belajar dapat dilakukan. Hasilnya juga lebih mantap karena didasarkan pada pengalaman, bukan hanya teori dari buku. Lebih mengena dan makjleb di hati.
Seperti pagi setengah siang ini, ketika saya hendak membetulkan rantai saya yang kendor di sebuah bengkel tambal ban yang sudah menjadi langganan. Nama pemiliknya,sebut saja pak Opik. Kebetulan saat itu sedang tidak ada ‘pasien’ sehingga sepeda saya langsung diservice tanpa menunggu antrian.
Sambil menunggu rantai saya diperbaiki, saya bertanya kePak Opik tentang usaha ternak ayamnya yang beberapa waktu lalu pernah diceritakan ke saya. Alhamdulillah, usahanya berjalan lancar dan semakin maju. Tetapi bukan usaha ternak ayam, usaha Pak Opik adalah jual daging ayam potong. Kata Pak Opik, pelanggannya kini semakin banyak dan bervariasi. Terkadang ada orag yang mau mantu, hajatan, atau acara-acara lain yang mengundang banyak orang. Dalam sehari, Pak Opik bisa menghabiskan ayam seberat satu kwintal (sekitar 50 ekor). Ayam-ayam itu dijual di pasar oleh isterinya. Buka sekitar jam lima pagi dan pulang setelah dhuhur.
Selalu ada cerita dibalik sebuah kesuksesan. Dengan mimik agak serius, Pak Opik mulai menceritakan masa-masa ‘pahit’ hidupnya. Sebelum menekuni usaha tambal ban dan daging ayam potong, Pak Opik pernah merantau ke pulau garam. Di sana dia menjalankan usaha membuat tempe. Omsetnya juga lumayan besar. Dalam sehari, dia membuat tempe-tempenya dengan bahan dasar kedelai sampai satu kwintal. Pelanggan tetapnya adalah pondok pesantren yang tersebar di sekitar tempat tinggalnya.
Badai berhembus. Usahanya gulung tikar karena persaingan usaha yang tidak sehat. Tiba-tiba saja, tempenya tidak bisa masuk ke pondok-pondok yang sudah menjadi langganannya. Akhirnya daripada ribut dengan teman-teman yang seprofesi dengannya, dia memilih mengalah dan berpindah ke Sampang. Di tempat barunya, dia mulai merintis usaha yang sama tapi tidak bertahan lama.
Setelah itu, Pak Opik terjun ke usaha jual beli barang bekas atau rosokan. Sayang, usahanya tidak bertahan lama. Lalu dia memilih usaha lain, jual panci dan perabotan rumah tangga. Seperti pendahulunya, usaha terakhirnya di pulau garam tak membuahkan hasil. Padahal anaknya saat itu sudah kelas 3 SD dan butuh biaya untuk pendidikannya. Dari pada luntang lantung di pulau orang, Pak Opik memutuskan untuk pulang kampung.
Beberapa bulan berselang, Pak Opik menjadi guru dengan bekal ijazah SMA. Dia sempat menjadi PNS namun buru-buru mengajukan pensiun dini. Gajinya yang hanyaRp. 38.000,- (tahun 1993) tidak cukup untuk biaya operasional. Naik ojek pulang pergi sehari 2.000. Uang rokok sehari 450. Sisanya kurang dari Rp. 10.000. “Jangankan buat rumah, buat makan saja tidak cukup”, ujar Pak Opik sambil tertawa. Padahal, apa yang pernah ditinggalkan pak Opik termasuk salah satu cita-cita saya. He he
Setelah masa-masa ‘pahit’ sudah dilaluinya, terbitlah seberkas cahaya yang bersinar semakin terang. Pak Opik dan isterinya merintis usaha jual daging ayam potong. Awal masa jual, hanya 5 ekor dalam sehari. Tetapi berkat ketekunan, keuletan, dan kesabaran, usaha mereka sudah membuahkan hasil. Lima tahun sudah usaha mereka berjalan. Sedangkan, pak Opik sendiri membuka usaha tambal ban yang sudah dijalaninya selama sepuluh tahun.
Satu hal yang membuat saya malu, sebelum mengakhiri kisah hidupnya, Pak Opik meceritakan resep rahasia hidupnya. “Pokoknya jangan lupa sholat Dhuha dan Bangun Malam. Itulah sandaran hidup saya. Dengan keduanya, semua urusan jadi mudah dan lapang.”
Seiring dengan purnanya kisah, motor saya juga selesai diperbaiki. Selama perjalanan pulang, saya masih saja malu. Kenapa 2 (dua) rahasia itu tidak saya jalankan secara rutin. Hanya sekedarnya saja kalau saya sedang ‘kepingin’. Semoga pertemuan singkat ini bermanfaat dan menjadi inspirasi dalam saya menjalani hidup. Terima kasih, Pak Opik. Semoga usaha keluarga bapak diberi kelancaran dan kemudahan oleh-Nya. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H