Terdapat beberapa faktor terkait penyebab ketertinggalan pendidikan perempuan di wilayah pedesaan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternalnya adalah kurangnya ketersediaan infrastruktur dan fasilitas yang mendukung. Sementara faktor internalnya, karena masih banyak masyarakat di desa yang memiliki persepsi bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan adalah pemborosan.
Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Mutia Khairunisa berpendapat, bahwa "Perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki sangat terleihat, dalam lingkup keluarga, pendidikan dan sekarang ke ranah yang lebih luas terkait ruang kerja/upah yang diterima antara laki-laki dan perempuan sangat tidak seimbang.Â
Kadangkala kita menjumpai posisi/jabatan antara laki-laki dan perempuan itu sama tapi beda upah, ada pula kesempatan yang diberikan kepada perempuan lebih sedikit sehingga perempuan untuk menduduki suatu jabatan tertentu masih sangat sulit," jelasnya.
Dalam konteks pekerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan pada tahun 2023 hanya mencapai 54,42%, sementara laki-laki mencapai 83,98%.Â
Hal ini menunjukkan adanya hambatan struktural dan kultural yang menghalangi perempuan untuk berkontribusi secara maksimal di sektor ekonomi. Sebagai langkah untuk mengatasi diskriminasi ini, berbagai organisasi dan lembaga pemerintah telah berupaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Mutia berharap bahwa dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, isu-isu yang dihadapi oleh perempuan dapat lebih diperhatikan dan diatasi secara efektif.Â
Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa kemajuan dalam upaya mencapai kesetaraan gender di Indonesia, tantangan yang dihadapi perempuan dalam hal penampilan, pendidikan, dan pekerjaan masih memerlukan perhatian serius dari semua pihak terutama di lingkungan masyarakat.Â
"Terus menyosialisasikan hal-hal yang dianggap belum ramah untuk perempuan/laki-laki supaya tidak adanya ketimpangan yang terjadi di suatu lingkungan tersebut, jika kita diam saja dan hanya mengaminkan segala bentuk ketidak adilan gender maka situasinya akan terus berputar dan tidak akan ada jalan keluar untuk mendobrak kebiasan tersebut," pungkasnya saat di hubungi lewat WhatsApp, Minggu, (21/7/24).
Oleh: Nabila Ahsanun Nadya (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Dosen Pengampu: Fauziah Muslimah, M.I.Kom
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H