Mohon tunggu...
Dina Ahsanta Puri
Dina Ahsanta Puri Mohon Tunggu... Guru - Your story teller

Menyukai kehidupan yang damai dan sedikit lucu. Dulu sempat bercita-cita jadi atlet badminton oleh karenanya gemar menulis. Mengimani filsafat lingkaran; kebaikan melingkar, keburukan melingkar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Kala Senja

8 Mei 2014   04:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Di sebuah bukit tidak jauh dari bibir pantai, Paula berdiri di depan jendela kamarnya. Berpangku tangan dengan pandangan menyelami mega-mega. Jarum jam tangannya masih mengeja sunyi, berdetak malas menghitung detik-per-detik. Daun jendela berderik lirih tertempa angin, rambut sebahunya turut tergerai lembut. Ketika merindukan sesuatu hal yang tak jelas dari kehidupan, waktu terasa begitu lamban. Paula merasakannya.

Tanpa memberi kabar kepada siapa pun. Paula pergi ke tempat ini—menyewa rumah penginapan sederhana dekat pantai. Padahal jika Paula mau, dia bisa menyewa penginapan jauh lebih mahal. Tapi, pada akhirnya terkadang manusia memang merindukan kesederhanaan, di kala penat mulai mengutuk dengan beragam kegagalan. Kadang Paula merasa kecewa saat ponselnya tak berdering, menandakan tiada satu pun orang yang ingat dan merindukannya. Namun, kali ini dia sengaja mematikan ponselnya semenjak kepergiannya yang diam-diam itu.

Mata Paula sesekali terpejam, ditiup pelan-pelan oleh angin. Terlihat sangat jelas matanya begitu lelah; serupa mata panda. Sudah dua hari dia tak bisa tidur. Tak ada masalah yang bergelayutan di kepalanya. Pekerjaannya lancar. Hubungannya dengan karyawan, kawan serta keluarga juga biasa-biasa saja. Namun, entah mengapa Paula merasa tidurnya selama satu minggu ini tak nyenyak. Dia tak bisa bermimpi dalam tidur. Dua hari berikutnya dia tak bisa tidur. Seseorang memang bisa lupa mimpinya semalam. Tapi, ini lebih dari semalam. Dan dia bukan lupa, melainkan sama sekali tak mimpi.

“Kuserahkan seluruh tubuh, jiwa, dan rohku ke dalam tangan-Mu! Bagi-Mulah semua kemuliaan, hormat, dan kuasa, dulu—sekarang—dan selama-lamanya. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kuberdoa. Amin!” Doa itu selalu Paula panjatkan saat hendak tidur. Berharap Tuhan Yesus mengirminya potongan kisah-kisah dari surga ke mimpinya. Dia sudah berusaha berdoa dengan sempurna, tulus dan penuh kepasrahaan, berharap Tuhan mendengar dan mengabulkan. Tapi, hasilnya nihil. Bukankah dengan bermimpi dalam tidur menunjukan seorang manusia masih mempunyai harapan? Setidaknya harapan yang terpendam atau di bawah alam sadar. Banyak orang yang sibuk menafsir mimpi mereka, menerka, membaca buku ramlan mimpi atau ke paranormal. Semata karena ada sesuatu yang diharapkan dari mimpi.

Paula beranjak dari depan jendela. Dia merebahkan diri di kasur, memandang langit-langit putih kamarnya. Masa lalu banyak menyimpan pengalaman. Dan bagi Paula, pengalaman adalah guru yang paling dibenci orang. Pengalaman memang kerap kali menyuguhkan kegagalan yang konon bisa mencipta manusia tangguh. Namun, perlu diingat, banyak kata yang berakhir menjadi omong kosong belaka saat dunia tak berpihak pada tangan kita.

Paula, oh, Paula. Usianya mulai merayap senja. Dia masih meraba kehidupan; dari potongan tulang rusuk siapakah dia diciptakan? Bukan, bukan sebatas masalah itu yang membuatnya merasa gagal dalam hidup. Akan tetapi, lantaran tak punya mimpilah yang membuatnya putus asa. Dia baru menyadari selama hidupnya ini, dia tak pernah punya mimpi.

Paula adalah anak tunggal dari keluarga berada. Seluruh kasih sayang orang tua tercurahkan padanya. Sudah sejak dalam kandungan, kedua orang tuanya merangkai masa depan Paula. Sekolah, karir bahkan pasangan hidup. Paula kecil tumbuh dalam lingkup kemenangan. Makanan terbaik. Baju terbaik. Pendidikan terbaik. Tak ada yang berani mengganggunya. Tak ada yang berani mencelanya. Nilainya selalu baik meski tak belajar. Meski dia masih kesulitan memecahkan soal aljabar sederhana, dia bisa masuk perguruan tinggi favorit di Jerman, jurusan arsitektur. Kini dia menjadi pemilik perusahaan keluarganya. Suatu hari kedua orang tuanya menjodohkannya dengan anak sahabat ayahnya. Untuk menguatkan bisnis keluarga katanya. Paula menolak. Orang tuanya tak bisa memaksakan mimpi mereka untuk menikahkan Paula. Akhirnya Paula dipersilakan untuk memilih pasangan hidup sendiri. Namun, hingga kedua orang tuanya bercerai, dia tak kunjung menemui jodohnya. Bahkan kini orang tuanya telah tiada.

Bulan ini usia Paula genap lima puluh tahun. Paula berada di titik kejenuhan dalam hidupnya. Paula tak tahu mau diapakan hidupnya. Tak punya tujuan, tak punya mimpi. Sama halnya seperti orang mati. Tak mempunyai mimpi di dunia nyata pun sudah membuat dirinya gusar, sekarang dalam tidur pun dia tak bermimpi. Padahal mimpi itu sederhana. Cukup tidur di mana pun dan kapan pun.

Paula pergi tak membawa banyak barang. Selain uang dan pakian secukupnya, dia juga membawa album foto usang. Foto sama halnya dengan waktu, sang pengingat yang diam. Foto juga pencerita paling ringkas, jembatan ingatan, pengantar seseorang pada kenangan.

Paula meraih album foto yang tergeletak di samping kepalanya. Dipandanginya satu per satu foto dengan khidmat, hingga dia mendapati fotonya dengan almarhum neneknya. Foto ketika dia tengah mendengarkan dongeng si nenek sebelum tidur. Kisah-kisah yang dapat memberikan seseorang harapan ketika dunia nyata membatasi dengan ketidakmungkinan. Neneknya kerap bercerita tentang kisah Peri Mimpi. Peri cantik yang akan hadir pada setiap tidur orang-orang yang dikehendakinya. Peri Mimpi itu akan membuat seseorang memimpikan apa pun yang diinginkan. Periitu tinggal di langit, langit yang terbentang di atas pantai. Sebab Peri Mimpi suka melukis langit. Dengan pelangi, bintang juga senja. Dan langit yang mereka sukai adalah langit di atas pantai, dengan begitu si Peri bisa melihat lukisannya sendiri dengan berkaca pada air laut yang maha luas.

Peri Mimpi kerap datang menunggang senja. Bukalah jendela ketika kau hendak tidur dalam senja. Maka Sang Peri Mimpi akan berkunjung pada tidurmu. Begitulah dongeng tentang Peri Mimpi. Peri yang kerap datang kala senja, bukan malam, juga bukan pagi.

Jari-jari tangan Paula melemas. Perlahan pandangannya meredup. Album foto digenggamannya terjatuh ke kasur. Dan Paula terlelap dalam tidur. Di luar sana burung pelikan masih bersahut-sahutan dengan debur ombak. Senja masih bertahan di langit, mengirimkan beberapa sinar mega yang menyelusup lewat jendela, menghangatkan gurat wajah lelah Paula.

Paula tak yakin betul berapa lama dia lelap dalam tidur. Ketika Paula membuka matanya, Paula merasa janggal. Dia, seorang diri, berada di ruang putih tanpa jarak tanpa batas. Tak ada arah yang dapat dia tuju. Dia bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah itu sebuah mimpi? Paula menangis sesenggukan, meski dia tahu tangis tak kan memberinya harapan pula penyelesaian.

“Jangan menangis,” ucap lembut seorang perempuan.

Paula menatap sesosok perempuan bergaun putih, bermata teduh dengan ikat bunga melingkar di kepalanya.

“Siapa kamu?” tanya Paula

“Aku Peri Mimpi,” jawabnya disertai senyuman menenangkan. “Kudengar, di negri manusia, ada seseorang yang bersedih sebab tak bermimpi.”

Peri Mimpi terdiam sejenak, lantas berkata“Paula ikutlah aku.”

Paula berjalan mengikuti langkah Peri Mimpi dengan ragu-ragu. Dia terus saja berjalan tanpa tahu arah mana yang harus dia tuju hingga Paula menembus sebuah cahaya, menghubungkannya ke suatu ruangan yang tak asing lagi baginya—kamar—kamar tidur Paula. Senja masih bertahan di langit. Sama seperti sebelum Paula tertidur. Jendela kamarnya masih terbuka dan berderit lirih tertiup angin. Paula menghampiri jendela itu. Dipandanginya suasana di luar sana. Ya, ada yang berbeda. Banyak orang-orang melamun di tepi pantai. Ada yang duduk termangu di bawah pohon. Berdiri melamun di hamparan pasir yang tersentuh ombak. Bahkan terlentang di atas pasir. Seingat Paula, sebelum tidur tak ada satu pun orang di sana.

Paula berbalik memandang Peri Mimpi. “Apa yang mereka lakukan, Peri?”

“Mereka semua tengah merancang mimpi.”

Kembali Paula memandangi orang-orang yang tengah melalum di pantai.

“Kau berada di dunia mimpi. Rancanglah mimpimu,” Ujar Peri Mimpi.

“Mimpi?” gumam Paula lirih.

Paula membalikan tubuhnya kembali. “Aku tak punya mimpi.” Peri Mimpi sudah tidak berada bersamanya. Paula menunduk, meratapi dirinya yang malang, “Menyedihkan sekali,” ujarnya. Paula memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dia ingin turun ke pantai. Tiada telinga lain di kamarnya. Percuma dia bertanya-tanya sendiri.

Dengan langkah tergesa, Puala berjalan menuruni bukit menuju bibir pantai.

“Apa, apa yang lebih menyedihkan dari seseorang yang tak punya mimpi?” Paula bertanya-tanya kepada orang-orang di sana. Tak ada yang mendengar, tak ada yang acuh. Paula terus mengulang-ulang tanyanya disertai tangis putus asa, “apa yang lebih menyedihkan dari seseorang yang tak punya mimpi?”

“Mereka yang terjebak dalam mimpi,” sahut seorang lelaki yang berdiri di belakangnya.

“Justru hidupku merana karena tak punya mimpi-mimpi,” sanggah Paula.

“Aku lebih merana sebab mimpi. Mimpi-mimpi ini membuat beban dalam diriku. Tak mampu kubedakan yang ada dan tiada,” tukas si lelaki misterius. “Kau ingin punya mimpi-mimpi?”sambungnya. Paula mengeryitkan jidat heran.

“Baik, akan kuberikan semua mimpi-mimpiku. Kau dapat menggunakannya untuk bermimpi. Memimpikan apa pun yang kau mau,” lelaki itu menunduk, mendekapkan tangannya ke dada. Matanya terpejam, seperti tengah mengeluarkan energi. Keluarlah cahaya dari dadanya. Amat terang dan beberapa saat kemudian cahaya itu berangsur meredup dan hilang. Lelaki itu melepaskan dekapan tangannya. Di tangan kananya sudah ada setangkai bunga dandelion. Dia meniupnya perlahan ke Paula. Mata Paula terpejam merasakan hawa sejuk. Dan lagi, ketika dia membuka matanya, lelaki itu sudah tidak ada di hadapannya. Dunia itu memang aneh, banyak orang yang tiba-tiba muncul dan menghilang.

Paula seakan mendapatkan gairah baru. Di langit, banyak wajah-wajah yang dulu pernah dia kenal. Keluarga, kawan, rekan kerja, wajah mereka terlukis di langit. Paula duduk di bawah pohon kelapa bersama hawa semilir angin sejuk. Pandangannya tertuju pada nenek dan kakeknya. Dia mulai merangakai satu per satu mimpinya. Pertama, dia ingin bermimpi menjadi dirinya kala kecil—usia 9 tahun. Dia memimpikian kematian kakeknya. Dirubahnya alur cerita, dia membuat kakeknya tak mati karena luka tusuk dari seorang perampok. Di mimpinya itu, kakeknya selamat dan hidup bahagia dengan neneknya.Usai mimpinya dirasa cukup, dia menatap wajah Candra. Teman laki-laki masa SMA. Paula merasa menyesal pernah menolak cintanya dengan terlalu, sehingga Candra sakit hati. Ketika Paula lulus SMA, dia berbalik suka pada pada Candra. Namun, sayang dia telah melewatkan kesempatan bersama sakit yang dia ciptakan untuk Candra. Semua hal yang Paula tak inginkan, yang Paula sesali dan Paula harapkan, dia wujudkan semua dalam mimpi.

Ketika Paula sudah berkali-kali membuka dan menutup mata untuk bermimpi. Entah di mimpi yang ke berapa Paula merasa gelisah. Dia kembali bertanya pada diri sendiri, benarkah ini yang dia inginkan? Setelah bermimpi dan melihat kenyataan yang tak sejalan. Paula justru merasakan sakit yang teramat dalam.

Lagi-lagi Paula menangis. Setiap tetes air matanya menjelma lara dan putus asa. Dia berjalan ke sana kemari. Kembali bertanya-tanya, “Apa, apa yang lebih menyedihkan dari seseorang yang terjebak dalam mimpi-mimpinya?” Tiada seorang pun yang mampu diajaknya bicara. Tanyanya hanya membentur debur ombak dan batuan karang. Dengan payah, dia selalu bertanya pada orang-orang yang lalu lalang di dunia mimpi, juga kepada wajah-wajah diam di langit. “Apa, apa yang lebih menyedihkan dari seseorang yang terjebak dalam mimpi-mimpinya?” begitu tanya Paula berulang-ulang.

Daun jendela berderik lemah tertiup angin, mempersilakan cahaya senja menyelinap ke sudut-sudut ruang. Ini adalah senja ke tujuh Paula terbaring di kamarnya. Kondisi kamarnya tidak jauh beda seperti sebelum Paula terlelap. Hanya debu yang kian menebal di tiap ruang dan barang di ruangan, juga sekerumunan lalat yang berdengung mengitari Paula—bunyinya serupa isyarat duka.

Semarang, Januari 2014

Dina Ahsanta Puri

Universitas PGRI Semarang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun