Pagi-pagi benar Markasep harus menerobos dinginnya udara pagi. Ada khabar, kalau salah sorang bibinya ada yang sakit. Terpaksa, Markasep harus menerjang hujan gerimis yang dinginnya menusuk hingga tulang. Jalan becek, berlumurkan lumpur, terus saja roda sepeda motor berputar menuju arah utara.
"assalamu'alaikum." Markasep bersalam sambil mengetuk pintu. Dari balik pintu wajah sayu bibi menyambut kedatangan Markasep. "pagi-pagi kok dah sampai sini Sep." "Iya Bi, saya mendengar khabar Bibi sakit." "Iya Sep, sejak kemarin kepala ini terasa berat dan sakit, perut mual pingin muntah." "udah diobati apa Bi?" "Ya pil-pil dari warung sudah saya minum. Sekarang agak mendingan."
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Terlihat di jalan anak-anak berseragam sekolah berjalan beriringan menyusuri pinggiran rel kereta. Rumah gedek Bibi Lim ini berdiri tak jauh dari rel kereta. Sisi rumahnya berdiri masjid yang lebih mirip mushola. Masjid berukuran mini dan sederhana. Kicau burung dari balik semak-semak pepohonan masih terdengar. Ayam-ayam memulai aktivitasnya mengais riski di kebun belakang rumah Bibi Lim. Warga yang lekat dengan kesederhanaan terlihat di sini, di dukuh ini. Sederhana makanan, pakaian, kendaraan, dan pekerjaannya. Hingga saking sederhananya, penghasilannya cukup untuk makan sehari dua hari.
"Assalamu alaikum." Ada suara salam dari balik pintu depan. Markasep segera berdiri bermaksud ingin membukakan pintu dan mempersilahkan tamu itu. Tapi tangan Bibi Lim memberi isyarat larangan, "biar aku saja yang membukakan pintunya." Markasep mengikuti isyarat dari Bibi Lim. Terdengar pintu berderit dan tamu itu masuk dengan tanpa basa-basi langsung nerocos. "Rumah ini, mulai hari ini juga akan saya tempati, karena ini hak kami. Suami, anak laki mu sudah tiada, rumah ini menjadi hak ku. Terserah kamu mau pindah kemana." Nada suara yang keras berbau pengusiran.
Markasep mendengar ucapan-ucapan tajam itu langsung berjingkat menuju ruang depan. "Ada apa ini Bi, kok Ibu ini tiba-tiba marah-marah. Istighfar bu eling-eling. Hari masih pagi jangan diracuni kemarahan." "Heh. Siapa kamu, ikut-ikutan urusan orang lain." Tangan ibu itu mengacungkan jari telunjuk, sambil matanya melotot , wajahnya memerah syarat kemarahan. "lho saya harus ikut, karena ini urusan bibiku." Spontan Markasep menjawab. "ada masalah apa Bu dengan rumah ini. Kok seperti satpol PP main usir aja." Markasep berdiri, sedang Bibi Lim terlihat matanya berkaca-kaca. Air matanya menetes satu demi satu.
Markasep mulai mendekati Bibi Lim, "Bibi istirahat aja dulu di dalam. Bibi sedang sakit, jadi jangan sampai kepikiran masalah-masalah hidup yang ruwet. Biar saya yang hadapi." Markasep ingin berusaha menuntun jalan Bibi, tapi ia menolak dengan halus. Walau wajahnya pucat, kini tampak memerah, "biar saya selesaikan dulu urusannya dengan adikku ini."
Markasep tetap saja pada posisi disamping Bibi Lim yang masih menangis lirih. Tak kuasa menyaksikan kejadian mendadak yang begitu cepat Markasep bersholawat keras-keras. Ibu yang baru saja marah itu terus saja nerocos, "kalau gak mau pindah dari rumah ini, terpaksa saya main kasar." tetapi tetap saja Markasep mendendangkan shalawat keras-keras. "Ya Nabi salam alaika...ya Rasul salam alaika...Ya Habib salam alaika." Terus bershalawat seiring Ibu itu menuntut sesuatu yang katanya menjadi haknya.
Ibu itu merasa kesal dan kebingungan melihat tingkah Markasep. Setelah puas menserapahi Bibi Lim dan Markasep, Ibu yang sudah berumur lima puluh lebih itu langsung sewot pergi begitu saja sambil melempar daun pintu, "prak..". Agaknya Ibu itu bersama beberapa orang yang ada di dalam mobil yang mengantarkannya, tetapi mereka tidak menyertainya ke dalam rumah.
Markasep pergi ke dapur mengambilkan segelas air putih untuk Bibinya yang dirundung kesedihan, "diminumi Bi." Markasep hanya menghela nafas panjang. Sambil menahan rasa penasaran karena peristiwa tadi. Dalam hatinya hanya bertanya-tanya, tetapi ia urung niat untuk menanyakan kepada Bibinya agar tak menambah beban fikiran dan kesedihan.
Lebih baik Markasep keluar rumah untuk mencari beberapa bungkus sarapan untuk Bibi Lim dan keluarga. Sambil berjalan mulut Markasep komat-kamit sendiri, "demi nafsu dunia, manusia tega menyakiti sesamanya. Memang dunia penuh angkara murka." Setelah mendapatkan beberapa bungkus sarapan Markasep kembali ke rumah Bib Lim. "Bi sarapan dulu Bi. Ini dah tak belikan sarapan." "Sep-sep kamu ini repot-repot." Kelopak matanya sembab menunjukkan kesedihan yang mendalam. Selepas ditinggal anak lakinya semata wayang, lalu ditinggal suaminya sowan kepada kekasih abadinya, kini muncul permasalahan lagi yang menggelayut. Tentang status rumah yang diperkarakan seseorang.
Tak berselang lama, anak perempuannya Bibi Lim dari kamarnya keluar. "uh kok gak keluar dari tadi." Ucap Markasep dalam hati. Belum juga tegur sapa dengan Markasep, sepupunya sudah lebih dulu komentar, "Tuan tanah datang lagi rupanya."