Kadang saya bertanya-tanya tentang mata pelajaran yang diajarkan di sekolahan, khususnya yang setingkat SMA. Pertanyaan pertama saya dari sisi kemanfaatan ilmu. Seberapa besar ilmu bisa dimanfaatkan oleh penyandangnya. Saya yakin seratus persen para siswi SMA, SMK, dan MA selepas lulus sekolah akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, tapi kenapa pelajaran yang berkaitan dengan parenting, mendidik anak, kesehatan ibu, dll. tidak ada dalam susunan kurikulum SMA? Bahkan yang lumrah di masyarakat pedesaan, gadis selepas lulus SMA kebanyakan tidak lama lagi menikah dan mempunyai anak. Mengapa pelajaran di sekolah tidak ikut menyiapkan ibu-ibu yang baik bagi pendidikan anaknya.
Dan bisa ditaksir secara spekulasi saja bahwa prosentase alumni SMA sederajat hanya nol koma sekian persen yang nanti menjadi operator komputer. Tapi kenapa pelajaran TIK menjadi satu pelajaran wajib di kurikulum KTSP dan pelajaran mendidik anak tidak ada sama sekali? Melihat fakta tersebut kita bisa mengklaim bahwa peran operator komputer dipandang oleh perumus kurikulum lebih penting, dibandingkan peran seorang Ibu. Peran profesi lebih penting dibandingkan dengan peran eksistensial.
Padahal nabi sendiri sangat menekankan arti penting seorang Ibu. Ketika ditanya siapakah yang harus ditaati oleh anak, maka Nabi menjawab “ibu”sampai tiga kali. Dalam sebagian kitab-kitab pesantren mengajarkan tentang menjadi istri yang baik, sampai kepada cara mendidik anak, dan nasehat-nasehat kepada para anak, seperti kitab ayuhal walad. Karya Imam Ghazali. Kita juga tahu bahwa ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Musa besar dilingkungan firaun yang mengaku Tuhan, tapi besar Musa menjadi Nabi, sedangkan Kanan tumbuh bersama Nabi Nuh, tetapi ia akhirnya menjadi manusia durhaka. Kenapa bisa terjadi paradoks seperti itu? Ternyata kalau kita amati, karakter anak sangat dipengaruhi oleh ibunya yang berfungsi sebagai madrasah pertama. Musa dibesakan oleh Asiyah istri Firaun yang beriman dan solihah. Sedangkan Kanan dalam tempaan ibunya yang juga durhaka kepada Nabi Nuh.
Kemudian untuk pelajaran bahasa kita juga bertanya. Bahasa Inggris, Indonesia dan Jawa itu sebenarnya penting mana? Dan penting dari sisi mana? Misalnya kita lihat dari sisi akhlak. Bahasa yang mengajarkan sopan santun itu bahasa apa? Inggris, Indonesia atau bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa sangat mengerti bedanya ayam dengan manusia, sehingga bahasa jawa membahasakannya berbeda antara “Rayi kulo maem sekul.” Dan “ayam notol sego”. Maem dan notol sungguh beda maknanya, caranya, pelakunya, makanannya, tempatnya, waktunya.
Bahasa merupakan komponen pelayanan dalam komunikasi antara manusia. Maka hanya bahasa Jawa yang mengerti penghormatan pelayanan sesungguhnya. Karena bahasa jawa telah mencapai tingkat peradaban tertinggi dari pemahaman eksistensial para makhluk, dan kedudukan-kedudukannya.
Bagaimana dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tidak tahu bedanya manusia dengan anjing. Misalnya: “anjing makan daging.” dan “ayah makan daging”. Pertanyaannya rela tidak ayah disamakan dengan anjing? Kalau kita setuju menggunakan bahasa Indonesia berarti kita rela ayah dan anjing disamakan. Karena penggunaan kata makan tidak ada bedanya antara anjing dan ayah. Itu artinya bahasa Indonesia tidak punya peradaban mendasar tentang mengerti eksistensi dan kedudukan makhluk. Hal serupa juga dilakukan bahasa Inggris yang membahasakan keduanya dengan kata-kata yang sama eating. maka bahasa Inggris sama sekali tidak menjadi sandangan sopan santun dan andap ashor bagi pemakainya.
Dalam ilmu pengetahuan ilmu yang pasti lebih baik daripada yang gak pasti. Kepastian lebih baik daripada spekulasi. Kafir lebih baik dari munafik. Kata dalam bahasa jawa mengandung kepastian, tapi kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidak mempunyai kepastian. Misalnya kata ‘bau’ dalam bahasa Indonesia bersifat spekulasi apakah yang dimaksud dengan bau? Bau yang mana? Sebab bau itu banyak sebagaimana orang jawa membahasakannya: apek, prengus, amis, langu, bedeg, tengik, dll. Bahasa Indonesia hanya mempunyai kata bau dan basin untuk menerangkan jenis bau yang bisa diperinci sedemikian banyak oleh bahasa jawa. Kata membawa dalam bahasa indonesia bisa mengandung sekian kemungkinan kalau disandingkan dengan bahasa Jawa, dengan kata-kata: mikul, ngemban, nggendong, nyangking, gowo, ngempit, dll.
Melihat kenyataan tersebut kita bisa secara obyektif memandang bahwa bahasa jawa lebih mulia peradabannya dibandingkan dengan bahasa lainnya. setelah pengakuan itu kita bisa menanyakan, kenapa dalam kurikulum sekolah bahasa Inggris justru mempunyai quota dua kali lipat jam pelajaran dibandingkan dengan bahasa Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan justru sangat tertarik menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Sedangkan bahasa jawa yang dapat menjadi alat pendidikan sopan santun dan andap ashor malah beberapa tahun kemarin sempat marak isu akan ditiadakan dari kurikulum nasional. Aneh.
Jumat, 4 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H