Secara prioritas sebenarnya diantara tiga: murid, guru dan pelajaran. Siapa yang diprimerkan, siapa yang di sekunderkan dan siapa yang di tersierkan?
Kebanyakan guru memandang siswa mau tidak mau harus mempelajari pelajaran tertentu. Suka tidak suka harus belajar pelajaran A, B, C, D. Apakah ditanggapi seandainya siswa menawar atau mengusulkan pelajaran yang ia sukai, yang ia minati tetapi pelajaran itu tidak ada dalam kurikulum? Dalam konteks ini, pelajaran mempunyai peringkat primer, guru sebagai sekunder, sedangkan murid tersier. Jadi seringkali, murid dan guru memperbudak diri melayani kurikulum dan target-targetnya.
Fakta yang terjadi di sekolah-sekolah adalah  Ibarat bayi, suka tidak suka nasi-pisang, orang tua harus terus berusaha memasukkan ke mulutnya. Dalam bahasa Jawanya Dijejel-jejelke. Dalam konteks ini tugas guru adalah seperti seorang ibu yang sedang jejelke ilmu. Itupun berdasarkan target waktu, target materi pelajaran yang akan disampaikan, dan juga target hasil siswa memahami pelajaran itu.
Misalnya pada suatu hari baby sitter menyuapi lima anak asuhnya. Kelima anak itu tentu mempunyai selera makanan yang berbeda. Kecepatan ngunyah makanan juga bervariasi. Ukuran lambung juga tentu ada yang lebar dan ada yang sempit. Yang paling penting lagi psikologi anak waktu disuapi bagaimana? Apakah ia baru saja dimarahi ibunya? Atau ia masih asyik bermain? Atau mulut anak sedang komat-kamit dan gerak tubuhnya menirukan satria baja hitam alias sedang berimajinasi? Dengan beragam fenomena itu apakah mungkin seorang baby sitter memaksakan kepada lima anak itu untuk menghabiskan dua puluh suap dalam dua puluh menit? Apakah target waktu dan porsi makanan itu bijaksana?
Guru ibarat baby sitter yang sedang menyuapkan ilmu, sedangkan murid mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda, suasana psikologi juga berlainan, minat terhadap pelajaran juga berfariasi, juga ditambah sentimen emosional murid terhadap guru, sudah jelas terjadi. Mungkinkah dengan kenyataan begitu seorang guru mempunyai target waktu, target menghabiskan 'makanan pelajaran' target kepahaman siswa? Dan target itu harus dikenakan untuk murid yang mempunyai kebinekaan itu?
Kalau kita melihat ibu menyuapi anaknya tentu kita akan menyaksikan betapa ibu selalu berfikir untuk menemukan cara bagaimana anaknya mau memakan makanan yang disediakannya itu. Kadang ada anak yang mau makan sambil di gendong; adalagi yang minat ngunyah dengan melihat binatang; juga ada anak yang mau makan sambil berlari-lari, dst.
Begitu juga seorang guru ketika menghadapi muridnya yang mempunyai berbagai macam karakter. Betapa guru berfikir keras bagaimana metode pembelajaran yang memudahkan anak didik mengunyah ilmunya. Karena ada anak yang tak selera dengan makanan tetapi dengan kelihaian cara menyuapinya seorang ibu mampu melaksanakan kewajibannya itu. Ada beberapa siswa yang tak selera dengan ilmu yang disuguhkan, tapi dengan mencerdasi cara menyuguhkannya seorang guru sukses mengantarkan anak menangkap pelajaran itu. Begitulah pentingnya menguasai bermacam-macam metode pembelajaran. Ada juga anak didik yang secara perlahan menyukai pelajaran karena anak didik itu betah dengan kebaikan karakter gurunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H