Mohon tunggu...
Kang Ahsa
Kang Ahsa Mohon Tunggu... lainnya -

pembaca buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kang Jalal: Masalah Mazhab sampai Ijazah

1 Maret 2013   04:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:30 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salam wa rahmah…

[caption id="attachment_230038" align="alignleft" width="182" caption="Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih karya Jalaluddin Rakhmat"][/caption] Kemarin sore saya sempat menelusuri catatan yang ada dalam dunia maya berkaitan dengan Kang Jalal (Ustadz Jalaluddin Rakhmat). Sangat beragam. Ada yang memuji, mendukung dan mengapresiasi pemikiran, bahkan ada yang menyatakan sesat dan tidak jujur dalam menyampaikan hadis-hadis.

Semua pernyataan di atas sudah banyak terjawab dalam diskusi dan ceramah Kang Jalal yang dapat diunduh pada situs: www.almunawwarah.com/ dan yang terbaru dijawab oleh Muhammad Babul Ulum dalam buku Kesesatan Sunni Syiah yang diterbitkan Aksara Pustaka (Jakarta, 2013).

Selain dari masalah keislaman dan mazhab Syiah, ada cerita yang beredar tentang Kang Jalal adalah gelar akademis doktor dan professor. Dalam blog dan situs disebutkan bahwa Kang Jalal tidak memiliki ijazah doktor. Yang menyebutkan demikian adalah situs http://www.lppimakassar.com/2012/07/menyoal-gelar-akademik-jalaluddin.html dan http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/04/gelar-dr-jalaluddin-rakhmat-palsu/ .

Kemudian mendapat tanggapan dari pengurus IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) Makassar dalam situs http://www.fajar.co.id/read-20120521000554-tanggapan-tentang-ijazah-jalaluddin-rakhmat .

Muncul lagi berita yang hampir sama dari situs http://uin-alauddin.ac.id/uin-2655-kang-jalal-belum-memiliki-kualifikasi-s3-.html.

Dalam situs yang terakhir ini bersumberkan dariseorang Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Azyumardi Azra. Poin yang disebutkan adalah (1) Kang Jalal belum memiliki kualifikasi S3; (2) Kang Jalal tidak memberikan berkas (ijazah) doktor dan professor sehingga dikesankan tidak memilikinya; (2) berdasarkan informasi dari seorang teman yang pernah kuliah di Australia bahwa Kang Jalal tidak pernah tamat diAustralia dan tidak sampai menghasilkan disertasi; (4) Kang Jalal tidak menempuh S3 di UINJakarta karena merasa tidak enak apalagi sudah tidak mengajar diPasca UIN Jakarta karena tidak memiliki kualifikasi S3.

Berbagai berita itu saya ragukan kebenarannya karena tidak ada yang berani konfirmasi langsung kepada Kang Jalal atau universitas yang meluluskannya di Australia. Kebetulan saya bagian dari jamaah Kang Jalal, saya coba beranikan untuk tanya langsung kebenarannya.

Melalui sebuah e-mail, guru saya: Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat menjawab:

Salam…(pertama) alasan bahwa saya tidak pernah menyerahkan ijazah dan transkrip tidakbisa dijadikan bukti saya tidak memilikinya, karena saya tidak pernahdiminta untuk menyerahkannya.  Saya sudah bertugas di UIN sebelum ia (Azyumardi Azra) menjadi rektor. Tidak pernah sekalipun saya diminta untuk menyerahkanijazah dan sebagainya. Kesaksian dari seorang teman juga bergantungkepada siapa teman itu. Kenapa kesaksiannya tidak berdasarkanpernyataan Universitas tempat saya belajar di Australia.

Kedua, sayapernah bercerita kepadanya di UIN Padang bahwa saya bermaksud untukmengambil program by research di UIN Jakarta (bukan ia yang menawarkan"mengapa harus jauh-jauh" dan sebagainya. Pertemuannya sambil makan direstoran bukan di bandara :)  Tetapi waktu itu dia mengatakan bahwa diUIN Jakarta tidak ada program s3 by research). Ketika saya mendaftarke UIN Makassar, saya harus membayar agak mahal, maka saya memutuskanuntuk pindah ke Jakarta, yang katanya membayarnya persemester. Setelah itu, saya dapat penjelasan dari UIN, melalui Syamsuddin--ketua IJABI sekarang-- bahwa pembayaranbisa diatur.

Alhamdulillah,bahkan sampai sekarang utang saya ke Pasca UIN Makassar belum selesai.Akhirnya saya putuskan untuk mengambil program S3 itu di Makassar.Sampai sekarang.Alhamdulillah, berkat masalah ijazah itu saya tahukawan dan lawan.

Nah… siapa yang bertanggung jawab dengan kabar palsu tersebut? Budaya tabayyun seharusnya digalakan umat Islam. Kalau sekadar dengar dari orang, apalagi yang tidak suka, bukannya informasi yang benar malah yang keluar yang bernuansa fitnah dan ditambah-tambahi dengan wadul bin bohong.

Bandung, 1 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun