Asian Human Rights Commission (AHRC) telah menerima informasi terkait penyiksaan terhadap seorang jurnalis di Enarotali, Papua, oleh tiga orang polisi. Kepala Polres Paniai sudah meminta maaf kepada korban dan menjanjikan bahwa ia akan menindak ketiga anggota kepolisian tersebut. Akan tetapi tindakan yang akan diambil oleh Kapolres sepertinya hanya akan bersifat administratif dan bukan pidana. Narasi kasus: Menurut salah seorang aktivis lokal, pada 15 Agustus 2013 sekitar pukul 4.30 sore, seorang jurnalis Bintang Papua bernama Andreas Badii sedang mengendarai motor setelah membeli sumbu kompor ketika ia dihentikan dan digeledah oleh seorang polisi bernama Lukman. Ketika polisi tersebut menemukan sumbu kompor di dalam tas Andreas, ia bertanya untuk apa sumbu itu akan digunakan. Dengan nada bercanda namun sopan, Andreas menjawab: 'Om macam tidak tahu saja.' Polisi yang merupakan anggota dari Polres Paniai tersebut kemudian tersinggung dengan respon yang diberikan Andreas. Dia bertanya berulangkali: 'kau melawan kah?'. (Gambar: Andreas Badii dipukuli di kepalanya hingga hidungnya berdarah hebat. Gambar milik aktivis lokal di Papua) Andreas menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud melawan dan bahwa sumbu yang ia beli hanya akan digunakan untuk kompor minyaknya. Akan tetapi polisi tersebut merespon dengan memukuli kepala Andreas yang ketika itu memakai helm. Dua orang polisi lainnya bernama Frendi Tomatala dan Welle Usior mendekati Andreas dan juga memukulinya di wajah sehingga hidung dan bibirnya terluka. Salah seorang polisi menarik baju Andreas dari belakang hingga ia jatuh dari motornya dan Wellem Usior menodongkan pistolnya ke arah Andreas. Meskipun hidung dan bibir Andreas berdarah hebat, ketiga polisi tersebut tidak membawa Andreas ke rumah sakit melainkan ke kantor Polres Paniai Timur yang berlokasi sekitar 500 meter dari tempat kejadian. Di kantor polisi, seorang anggota yang namanya belum teridentifikasi menjelaskan kepada Andreas bahwa mereka sudah melakukan operasi keamanan sejak Januari 2013 dan bahwa mereka semua lelah dan kurang tidur. Ia menjelaskan bahwa hal inilah yang membuat polisi cenderung menjadi agresif. Andreas kemudian dibebaskan setelah ditahan di dalam kantor polisi tersebut selama 30 menit. Sebelum meninggalkan kantor polisi, Andreas mencari Kapolres Paniai yang saat itu sayangnya tidak berada di tempat. Keesokan paginya pada pukul 8.45, Andreas hendak berangkat ke Polres Paniai untuk melaporkan penyiksaan yang dialaminya ketika Kapolres Paniai, Semmy Ronny Aba, menelpon. Kapolres meminta maaf kepada Andreas atas tindakan bawahannya dan menjelaskan bahwa karena Polri memiliki Kode Etik, maka pengaduan dari Andreas dapat ditindaklanjuti secara hukum. Pada pukul 9.15, Andreas bertemu dengan Kapolres secara langsung yang kemudian memerintahkan staf dari unit Provost untuk menerima pengaduan Andreas. INFORMASI TAMBAHAN: Pada 2009, Kapolri mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap anggota Polri untuk menghormati hak asasi manusia (HAM) dalam menjalankan peran dan tugasnya. Berdasarkan Pasal 10 poin c peraturan tersebut, misalnya, anggota Polri dilarang untuk menggunakan kekerasan kecuali dalam keadaan yang memang dibutuhkan, seperti mencegah kejahatan dan menangkap tersangka kriminal. Akan tetapi meskipun ada ketentuan-ketentuan yang baik di dalam peraturan tersebut, kekerasan oleh anggota kepolisian masih sangat umum hingga hari ini. Sebagai contoh, pada awal Agustus tahun ini, seorang polisi menembak mati seorang warga Papua yang mengalami masalah kejiwaan walaupun ia tidak menimbulkan bahaya ataupun terlibat dalam aktivitas kriminal. Penyiksaan juga dilaporkan meluas di Indonesia, hingga polisi disebut-sebut sebagai aparat negara yang paling sering melakukan pelanggaran HAM tersebut. Meskipun banyak kasus penyiksaan dan kekerasan oleh polisi sudah dilaporkan, hanya sedikit di antaranya yang berujung pada penghukuman pidana para pelaku. Pengaduan yang tidak berujung pada penghukuman demikian biasanya tidak ditindaklanjuti sama sekali, atau hanya ditindaklanjuti oleh mekanisme pengawasan internal di dalam tubuh kepolisian, yakni Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Mekanisme di bawah Propam tersebut sudah kerap dikritik bukan hanya karena kurangnya transparasi tapi juga karena karakterisitik administratif di dalamnya dan bahwa ia kerap digunakan untuk menggantikan proses pidana terhadap polisi pelaku penyiksaan. Hal tersebut tidaklah bersesuaian dengan Konvensi PBB Anti Penyiksaan di mana salah satu ketentuannya mewajibkan penghukuman proporsional bagi pelaku oleh suatu proses hukum pidana. TINDAKAN YANG DISARANKAN: Harap mengirimkan surat kepada otoritas yang disebutkan di bawah ini meminta mereka untuk mengintervensi dan memastikan bahwa ketiga polisi yang menyiksa Andreas akan diadili dalam proses pidana. Harap desak mereka pula untuk memastikan bahwa Andreas akan menerima reparasi yang memadai. Selain mengirimkan surat ke otoritas di bawah ini, AHRC juga telah mengirim surat kepada Pelapor Khusus PBB untuk isu penyiksaan. Untuk mengirimkan surat kepada otoritas terkait dengan menggunakan template berbahasa Inggris yang disiapkan AHRC, silakan klik disini. Harap kirimkan surat yang kamu buat ke pihak-pihak di bawah ini: 1. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia Jl. Veteran No. 16 Jakarta Pusat INDONESIA Tel: +62 21 3458 595 Fax: +62 21 3484 4759 E-mail: webmaster@setneg.go.id 2. Ibu Harkristuti Harkrisnowo Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6–7 Kuningan, Jakarta 12940 INDONESIA Tel: +62 21 525 3006, 525 3889 Fax: +62 21 525 3095 3. Jend. Timur Pradopo Kapolri Jl. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 INDONESIA Tel: +62 21 384 8537, 726 0306 Fax: +62 21 7220 669 E-mail: info@polri.go.id 4. Bapak Tito Karnavian Kapolda Papua Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8 Jayapura INDONESIA Tel: +62 967 531 014, 533 396 Fax: +62 967 533 763 5. Ibu Siti Nur Laila Ketua Komnas HAM Jl. Latuharhary No. 4-B Jakarta 10310 INDONESIA Tel: +62 21 392 5227-30 Fax: +62 21 392 5227 E-mail: info@komnas.go.id 6. Bapak Abdul Haris Semendawai Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Gedung Proklamasi Jl. Proklamasi No. 56 Jakarta Pusat 10320 INDONESIA Tel: +62 21 3190 7021 Fax: +62 21 3192 7881 E-mail: lpsk_ri@lpsk.go.id --- Tulisan ini merupakan terjemahan atas Seruan Mendesak (Urgent Appeal) yang diterbitkan oleh AHRC pada Jumat, 23 Agustus 2013. Versi asli berbahasa Inggris dari AHRC dapat diakses di http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-113-2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H