Asian Human Rights Commission (AHRC) telah menerima informasi terkait penembakan seorang laki-laki Papua di Nabire, Papua. Korban bernama Marthen Gobai ditembak di bagian kepala pada 5 September 2013. Hingga saat ini pelaku penembakan belum dapat diidentifikasi. Akan tetapi ada dugaan bahwa polisi terlibat di dalam penembakan tersebut. NARASI KASUS: Berdasarkan laporan dari aktivis lokal yang mewawancarai keluarga korban, Marthen Gobai tengah mabuk dan diantar pulang oleh seorang anggota kepolisian pada 5 September 2013 pada 7.30 malam. Sebelum meninggalkan rumah Marthen, anggota polisi tersebut menyarankan Marthen untuk tidak keluar rumah dan menyebabkan keributan. Polisi tersebut juga menyatakan bila Martin tidak mengindahkan sarannya maka ia mungkin akan ditembak oleh polisi. Akan tetapi, oleh karena ia saat itu dalam keadaan mabuk, Marthen memutuskan untuk pergi keluar pada sekitar pukul 9 malam meskipun sudah dicegah oleh istrinya. Sang istri mengikuti Marthen hingga keduanya berada sekitar 15 meter dari Polsek SP1 Nabire. Akan tetapi istri Marthen kemudian memutuskan pulang karena teringat saran dari anggota kepolisian sebelumnya untuk tidak meninggalkan rumah. (Gambar: Marthen Gobai. Sumber: aktivis lokal). Beberapa jam kemudian sekitar pukul 10.20 malam, pihak keluarga mencari Marthen di sekitar kampung tapi tidak dapat menemuka Marthen. Baru keesokan harinya pada 6 September 2013, polisi menginformasikan pihak keluarga bahwa Marthen telah tewas dan bahwa jenazahnya berada di RSUD Siriwini.  Seorang saksi memberitahukan keluarga Marthen bwah polisi-lah yang mengantarkan jenazah korban sekitar pukul setengah satu pagi hari itu. Pihak keluarga melaporkan bahwa satu-satunya luka yang mereka temukan di Marthen ialah luka tembak di bagian kepala.  Foto-foto yang diambil oleh keluarga menunjukkan bahwa Marthen ditembak di dahi kiri yang mengakibatkan bagian otaknya terekspos. Keluarga Marthen meminta dokter yang bertugas untuk memberikan hasil otopsi akan tetapi permintaan tersebut ditolak. Doktor beralasan bahwa ia tidak berani mengeluarkan surat hasil otopsi tersebut tanpa adanya izin dari kepolisian. INFORMASI TAMBAHAN: Apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Marthen dan siapa yang bertanggungjawab atas penembakan terhadap dirinya belum bisa dikonfirmasi hingga hari ini. Akan tetapi keengganan dokter untuk memberikan hasil otopsi kepada keluarga Marthen tanpa adanya persetujuan polisi serta 'saran' dari anggota polisi kepada Marthen sebelum kejadian untuk tidak meninggalkan rumah memunculkan kecurigaan bahwa polisi terlibat di dalam insiden ini. Penembakan oleh anggota kepolisian dilaporkan sebagai suatu hal yang umum bukan hanya di Nabire tapi juga bagian lain dari Papua. Sebagai contoh, bulan lalu seorang laki-laki Papua yang menderita gangguan mental ditembak oleh seorang polisi di Jayawijaya hanya karena pertengkaran kecil di antara keduanya. Siapapun yang bertanggung jawab atas kematian Marthen, polisi memiliki kewajiban untuk menginvestigasi kasus ini secara efektif dan imparsial serta untuk menyeret pelakunya ke pengadilan. Sesuai dengan hukum yang berlaku, individu yang bertanggung jawab dalam penembakan ini haruslah diadili oleh pengadilan pidana dan dihukum dengan hukuman yang proporsional. Berbagai badan hak asasi manusia telah menegaskan bahwa kegagalan pihak berwajib untuk menginvestigasi kematian individu di dalam wilayahnya serta kegagalan untuk menghukum pelakunya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak untuk hidup. Di dalam kasus Khashiyev and Akayeva v Russia, sebagai contoh, pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa 'kewajiban untuk melindungi hak untuk hidup... dibaca bersama dengan kewajiban umum negara... juga menimbulkan implikasi adanya kewajiban untuk tersedianya suatu bentuk investigasi efektif ketika individu tewas akibat penggunaan kekuatan.' Dalam laporannya di tahun 2006, pelapor khusus PBB untuk isu eksekusi ekstrayudisial dan sewenang-wenang juga menekankan bahwa 'kewajiban untuk menginvestigasi merupakan bagian dan kesatuan dari kewajiban untuk menjaga hak untuk hidup.' TINDAKAN YANG DISARANKAN:
Harap mengirimkan surat kepada pihak-pihak tersebut di bawah ini dan meminta mereka untuk memastikan bahwa kasus ini diinvestigasi secara efektif dan imparsial. Individu manapun yang bertanggung jawab atas kematian Marthen haruslah diadili oleh pengadilan pidana dan dihukum secara proporsional sesuai dengan hukum yang berlaku. AHRC telah mengirimkan surat kepada pelapor khusus PBB untuk isu eksekusi ekstrayudisial dan sewenang-wenang.
Untuk mengirimkan surat kepada otoritas terkait dengan menggunakan template yang disiapkan AHRC dalam bahasa Inggris, silakan klik disini.
Harap kirimkan surat yang kamu buat ke pihak-pihak di bawah ini:
1. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia Jl. Veteran No. 16 Jakarta Pusat INDONESIA Tel: +62 21 3458 595 Fax: +62 21 3484 4759 E-mail: webmaster@setneg.go.id 2. Ibu Harkristuti Harkrisnowo Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6–7 Kuningan, Jakarta 12940 INDONESIA Tel: +62 21 525 3006, 525 3889 Fax: +62 21 525 3095 3. Jend. Timur Pradopo Kapolri Jl. Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 INDONESIA Tel: +62 21 384 8537, 726 0306 Fax: +62 21 7220 669 E-mail: info@polri.go.id 4. Bapak Tito Karnavian Kapolda Papua Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8 Jayapura INDONESIA Tel: +62 967 531 014, 533 396 Fax: +62 967 533 763 5. Ibu Siti Nur Laila Ketua Komnas HAM Jl. Latuharhary No. 4-B Jakarta 10310 INDONESIA Tel: +62 21 392 5227-30 Fax: +62 21 392 5227 E-mail: info@komnas.go.id --- Posting ini merupakan hasil terjemahan dari Seruan Mendesak (Urgent Appeal) yang diterbitkan AHRC di http://www.humanrights.asia/news/urgent-appeals/AHRC-UAC-118-2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H